Jepang

Makan Siang Sehat Ala Jepang, Pelajaran Penting untuk Pendidikan Gizi di Sekolah

Makan Siang Sehat Ala Jepang, Pelajaran Penting untuk Pendidikan Gizi di Sekolah
Makan Siang Sehat Ala Jepang, Pelajaran Penting untuk Pendidikan Gizi di Sekolah

JAKARTA — Program makan siang bergizi di sekolah bukan hanya soal memberi makan, tapi juga sarana pendidikan karakter dan kesehatan. Hal itu tercermin dari praktik kyūshoku di Jepang yang sudah berjalan lebih dari 100 tahun. Kyūshoku bukan sekadar program makan gratis, melainkan pendidikan gizi, kebersihan, etika, hingga penghargaan pada pangan, seperti diungkapkan Direktur Eksekutif APEKSI, Alwis Rustam, yang baru saja meninjau langsung sistem makan siang di Kota Toyota, Jepang.

“Program ini sudah punya dasar hukum sejak 1954 dan diperkuat konsep Shokuiku pada 2005. Shokuiku inilah yang menjadi dasar kyūshoku modern: bukan hanya gizi, tapi juga membentuk kebiasaan makan sehat dan menghargai makanan,” kata Alwis.

Menurut Alwis, Kota Toyota menerapkan dapur zonasi dengan lima pusat dapur untuk 48 ribu siswa SD dan SMP. “Satu pusat dapur bisa melayani hingga 10 ribu anak setiap hari. Semua proses dijadikan bagian dari pembelajaran. Anak-anak belajar bagaimana makanan mereka disiapkan dan siapa saja yang terlibat,” jelasnya.

Program kyūshoku, tambahnya, sudah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan Jepang sejak lama. Di Kota Toyota, praktik ini berjalan sejak 1960. Meskipun ada payung hukum nasional, setiap daerah di Jepang diberi fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.

Pengawasan Ketat dan Standar Tinggi

Keamanan pangan menjadi perhatian utama dalam program ini. Menurut Alwis, dapur kyūshoku dilengkapi tenaga profesional seperti ahli gizi, ahli boga, tenaga kesehatan masyarakat, petugas kebersihan alat, hingga ahli alergi dan diet khusus. Dapur pun diatur steril, terpisah untuk bahan mentah dan matang.

“Saya mendapat informasi bahwa sejauh ini belum pernah ada kasus keracunan massal. Bahkan, ketika terdeteksi E. coli O157, mereka dapat langsung menanganinya berkat sistem kontrol kualitas yang ketat,” ungkap Alwis.

Selain itu, komposisi menu diatur sedemikian rupa agar memenuhi gizi seimbang. Aspek visual makanan juga diperhatikan. “Warna makanan harus menarik, karena itu wadah dibuat serba putih agar keanekaragaman warna makanan menonjol. Ini penting, karena makan siang jadi momen sosial yang menyenangkan bagi anak-anak,” ujarnya.

Biaya dan SDM Profesional

Untuk menyediakan makan siang bergizi, biaya yang dikeluarkan mencapai sekitar 80 ribu rupiah per anak per hari. Menurut Alwis, biaya tersebut sepadan dengan kualitas layanan, bahan makanan, dan SDM yang terlibat. Di Tobu School Lunch Center yang ia kunjungi, ada 100 juru masak dan 50 tenaga kebersihan. Dua manajer bertanggung jawab atas operasional dan keuangan.

Bahan pangan diambil dari petani lokal dan luar kota, tetapi tetap melalui perusahaan pengelola yang menjaga kualitas dan kuantitas. Proses penyediaan makan juga melibatkan kontrak PFI (Private Finance Initiative) selama 15–20 tahun dengan pihak swasta dan lembaga keuangan.

Keterlibatan Anak dan Pendidikan Karakter

Alwis menekankan, program kyūshoku juga melibatkan anak-anak secara aktif. Mereka tidak hanya makan, tetapi juga berpartisipasi. “Setiap hari, siswa secara bergiliran mengumumkan menu makan siang lewat siaran radio sekolah. Ini mendidik mereka tanggung jawab dan melatih keberanian berbicara,” terangnya.

Hasil survei menunjukkan sekitar 60 persen anak menyatakan senang dengan menu yang disajikan. Ini menunjukkan bahwa program makan siang tak hanya soal logistik, tetapi juga soal kepuasan dan minat anak terhadap makanan sehat.

Pelajaran untuk Indonesia

Menurut Alwis, pengalaman Jepang menunjukkan bahwa program makan siang di sekolah harus dimulai secara bertahap. Ia menyebut lima poin penting yang bisa diadopsi Indonesia:

Kyūshoku bukan hanya soal memberi makan, tapi pendidikan gizi dan penghargaan pada pangan.

Implementasi bertahap: mulai dari peralatan, layanan, SDM, hingga integrasi dengan pendidikan.

Memiliki SOP ketat dan tenaga profesional.

Melibatkan anak-anak dalam proses, dari pengumuman menu hingga etika makan.

Regulasi nasional memberi ruang adaptasi bagi daerah, bukan satu aturan kaku yang sama untuk semua.

“Kalau kita ingin meniru, tidak bisa secara mentah. Harus kita adaptasi dengan kondisi sosial, budaya, dan kearifan lokal di Indonesia. Tetapi, prinsipnya: makan siang di sekolah harus dilihat sebagai bagian penting dari pendidikan karakter,” tegasnya.

Mengapa Penting?

Alwis menambahkan, program makan siang bergizi di sekolah dapat mendukung target penurunan angka stunting dan perbaikan kualitas SDM di masa depan. Selain itu, ia menilai program ini menjadi solusi konkret untuk meningkatkan kebiasaan makan sehat sejak dini, mengurangi konsumsi junk food, serta membangun kepedulian pada kebersihan.

“Kalau makan siang di sekolah dijalankan dengan baik, bukan cuma gizi anak yang terjaga, tapi juga tumbuh karakter positif: disiplin, kebersamaan, tanggung jawab, dan apresiasi pada pangan,” kata Alwis.

Pengalaman Kota Toyota, Jepang, menunjukkan makan siang bukan hanya kebutuhan biologis, tetapi sarana pendidikan nilai-nilai penting bagi anak. Jika Indonesia ingin melangkah ke arah serupa, butuh komitmen serius dari pemerintah pusat hingga daerah, serta keterlibatan masyarakat luas.

Kyūshoku di Jepang membuktikan makan siang bergizi di sekolah bukan hanya tentang makanan, melainkan pendidikan hidup. “Program makan siang ini bukan hanya untuk menuntaskan lapar, tetapi juga membangun masa depan anak yang lebih baik,” tutup Alwis Rustam.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index