JAKARTA - Suasana panen raya beras merah tengah menyelimuti kawasan Subak Jatiluwih, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Ribuan petani di kawasan persawahan terasering yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia itu tengah menikmati hasil kerja keras mereka, dengan produksi gabah meningkat signifikan disertai kenaikan harga jual yang menguntungkan.
Berdasarkan pantauan di lokasi pada Kamis, 26 Juni 2025, mayoritas petani di Jatiluwih sudah memanen padi beras merah mereka. Hanya sekitar 30 persen lahan yang belum dipanen. Panen raya kali ini sudah berlangsung sejak Mei 2025 dan diperkirakan tuntas pada minggu pertama Juli 2025.
Pekaseh Subak Jatiluwih, I Wayan Mustra, menegaskan bahwa panen raya kali ini membawa kebahagiaan bagi petani. “Sudah hampir 100 persen panen raya tuntas,” ujarnya.
Produktivitas Meningkat, Panen Lebih Banyak Dibanding Sebelumnya
Menurut Mustra, hasil panen kali ini lebih baik dibandingkan musim sebelumnya. Jika pada panen November 2024 rata-rata satu hektare hanya menghasilkan 6 – 7 ton gabah, pada panen raya kali ini petani bisa mendapatkan hingga 7,5 ton gabah per hektare.
Kenaikan produktivitas ini tidak datang begitu saja. Sejumlah faktor mendukung, mulai dari perbaikan teknik budidaya, penggunaan pupuk organik, hingga upaya menjaga kesuburan tanah dengan menebar serbuk pengaktif unsur hara. “Selain itu gangguan hama juga sedikit,” akunya.
Keberhasilan panen ini menunjukkan efektivitas penerapan pertanian ramah lingkungan yang dijalankan petani Subak Jatiluwih, sekaligus menegaskan pentingnya konservasi lahan pertanian di kawasan warisan budaya.
Harga Gabah Kering Panen Naik Drastis
Selain hasil panen yang meningkat, kebahagiaan petani juga bertambah karena harga gabah kering panen (GKP) beras merah melonjak tajam. Mustra mengungkapkan bahwa saat ini harga gabah kering panen mencapai Rp2 juta per kwintal, naik hampir tiga kali lipat dibandingkan harga pada panen sebelumnya yang hanya sekitar Rp700 ribu per kwintal.
“Sekarang per kwintal seharga Rp2 juta, jika panen lalu hanya Rp700.000,” jelas Mustra.
Kenaikan harga ini terjadi lantaran tingginya permintaan pasar akan beras merah berkualitas, sementara pasokan dari daerah lain sangat terbatas. “Hanya ada di Jatiluwih sekarang ada panen raya, di tempat lain sedikit,” katanya menegaskan.
Permintaan Tinggi, Pasokan Terbatas
Varietas beras merah yang dihasilkan di Jatiluwih memiliki keunggulan khusus karena ditanam di lahan yang terjaga kualitas lingkungannya, menggunakan sistem irigasi tradisional Subak yang berkelanjutan, serta tanpa bahan kimia berbahaya. Faktor-faktor ini membuat beras merah Jatiluwih memiliki cita rasa khas dan kandungan nutrisi yang lebih baik, sehingga menjadi incaran konsumen domestik maupun mancanegara.
Permintaan yang tinggi dengan produksi yang terbatas ini menjadi salah satu pendorong utama kenaikan harga gabah di tingkat petani. Mustra menyebut, tren permintaan diperkirakan masih akan terus berlanjut, terutama karena semakin banyak konsumen yang peduli terhadap pola makan sehat.
Konservasi dan Keberlanjutan Subak Jatiluwih
Sebagai salah satu ikon budaya Bali, Subak Jatiluwih bukan hanya berfungsi sebagai lumbung pangan lokal, tetapi juga menjadi contoh praktik pertanian tradisional yang selaras dengan alam. Sistem Subak yang mengandalkan gotong royong dan nilai-nilai filosofi Tri Hita Karana—keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan—telah terbukti mampu menjaga keberlanjutan produksi pertanian di kawasan ini selama ratusan tahun.
Pemerintah daerah dan pengelola Subak Jatiluwih pun terus berupaya mendorong petani mempertahankan metode tradisional ramah lingkungan ini. Tidak hanya demi menjaga produktivitas, tetapi juga untuk melestarikan warisan budaya yang menjadi daya tarik wisatawan.
Rencana Tanam Varietas Baru Pasca Panen
Lebih lanjut, Mustra menjelaskan bahwa setelah panen raya beras merah selesai pada awal Juli ini, petani Subak Jatiluwih akan bersiap untuk menanam varietas padi unggul non-beras merah pada Agustus 2025 mendatang. Rotasi tanaman ini dilakukan untuk menjaga kesehatan tanah dan mengoptimalkan hasil pertanian.
“Di bulan Januari 2026 baru mulai menanam beras merah lagi,” tandas Mustra.
Dampak Positif Ekonomi dan Sosial
Panen raya beras merah yang sukses ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi petani, tetapi juga berdampak positif pada perekonomian lokal. Hasil panen yang melimpah mendukung peningkatan pendapatan keluarga petani, perputaran ekonomi di desa, hingga menjaga ketahanan pangan di Bali.
Selain itu, Subak Jatiluwih yang dikenal sebagai destinasi wisata sawah terasering juga mendapat keuntungan tambahan. Aktivitas panen raya menjadi atraksi menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang untuk menyaksikan tradisi pertanian Bali secara langsung.
Harapan untuk Dukungan Berkelanjutan
Mustra menegaskan pentingnya dukungan pemerintah dan berbagai pihak untuk menjaga keberlangsungan pertanian tradisional di Subak Jatiluwih. Pasalnya, tantangan ke depan seperti perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan regenerasi petani muda harus segera diantisipasi agar kawasan ini tetap menjadi penghasil pangan berkualitas dan ikon budaya Bali.
“Kami berharap dukungan terus diberikan agar kami tetap bisa menjaga kualitas beras merah dan kelestarian Subak,” pungkasnya.