pengertian resesi ekonomi

Memahami Pengertian Resesi Ekonomi, Penyebab, dan Dampaknya

Memahami Pengertian Resesi Ekonomi, Penyebab, dan Dampaknya
pengertian resesi ekonomi

JAKARTA - Pengertian resesi ekonomi adalah masa penurunan aktivitas ekonomi sementara, ditandai berkurangnya kegiatan di sektor perdagangan dan industri.

Salah satu ciri khas resesi ekonomi adalah penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) yang berlangsung selama dua kuartal berturut-turut. 

Berikut ini penjelasan lebih rinci mengenai pengertian resesi ekonomi, penyebabnya, dampak yang muncul, serta langkah-langkah yang bisa diambil untuk menghindarinya.

Pengertian Resesi Ekonomi

Pengertian resesi ekonomi adalah kondisi saat aktivitas ekonomi menurun tajam dan berlangsung cukup lama, mulai dari beberapa bulan hingga bertahun-tahun. 

Resesi ditandai oleh penurunan signifikan dalam berbagai sektor ekonomi, seperti meningkatnya angka pengangguran, penurunan penjualan ritel, serta kontraksi produk domestik bruto (PDB) yang negatif selama dua kuartal berturut-turut. 

Dampak resesi meliputi melambatnya pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan sektor riil mengurangi kapasitas produksi hingga terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Selain itu, kinerja investasi menurun karena investor memilih aset yang lebih aman, sementara daya beli masyarakat melemah akibat fokus pada kebutuhan pokok.

Penyebab Resesi Ekonomi

Resesi adalah masa ketika aktivitas ekonomi mengalami penurunan, biasanya ditandai dengan berkurangnya Produk Domestik Bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut. 

Sampai saat ini, Indonesia belum mengalami resesi, namun penting untuk memahami faktor-faktor yang dapat menyebabkan resesi di suatu negara:

Inflasi

Inflasi adalah kenaikan harga yang berlangsung terus-menerus. Inflasi sebenarnya tidak selalu negatif, tetapi jika terjadi secara berlebihan, hal ini bisa berbahaya dan memicu resesi. 

Bank sentral, seperti di Amerika Serikat, biasanya menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Namun, langkah ini juga memiliki risiko karena suku bunga yang tinggi dapat menekan aktivitas ekonomi hingga memicu resesi.

Deflasi Berlebihan

Selain inflasi, deflasi yang berlebihan juga bisa berdampak buruk. Deflasi terjadi saat harga-harga menurun secara bertahap, yang menyebabkan penurunan upah dan harga. 

Dampaknya paling terasa pada pelaku usaha, baik penyedia barang maupun jasa. Ketika konsumen dan pelaku bisnis mulai menahan pengeluaran, ekonomi akan mengalami kerusakan. 

Penyebab deflasi antara lain produksi berlebihan dari banyak perusahaan, penurunan permintaan, dan berkurangnya jumlah uang yang beredar di masyarakat.

Gelembung Aset

Gelembung aset merupakan faktor lain yang dapat memicu resesi. Ketika pasar saham atau properti terlalu dibesar-besarkan karena optimisme yang tidak realistis, disebut juga “kegembiraan irasional,” gelembung ini akhirnya akan pecah. 

Saat investor panik dan mulai menjual saham secara besar-besaran (panic selling), pasar akan runtuh dan memicu resesi. 

Biasanya, investor yang bertindak berdasarkan emosi membeli banyak saham ketika ekonomi baik, tetapi buru-buru menjual saat kondisi memburuk.

Guncangan Ekonomi Mendadak

Guncangan ekonomi yang tiba-tiba juga bisa memicu resesi dan masalah serius lainnya. Contohnya adalah tingginya beban hutang baik secara individu maupun perusahaan. 

Ketika biaya pelunasan hutang meningkat terus sampai titik tidak mampu dilunasi, kondisi ini akan memperburuk situasi ekonomi dan mendorong terjadinya resesi.

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Perkembangan teknologi juga bisa menjadi penyebab resesi. Misalnya, pada abad ke-19 terjadi revolusi Industri yang mengandalkan teknologi hemat tenaga kerja. Hal ini membuat banyak profesi menjadi usang dan memicu resesi. 

Kini, beberapa ekonom khawatir bahwa kemajuan Artificial Intelligence (AI) dan robotik dapat menyebabkan resesi karena banyak pekerja kehilangan pekerjaan.

Indikator Negara Mengalami Resesi

Krisis ekonomi di Uni Eropa tahun 2008-2009 menyebabkan 17 negara, termasuk Perancis, Spanyol, dan Italia, memasuki masa resesi. 

Pada 2010, Thailand juga mengalami resesi setelah Produk Domestik Bruto (PDB)-nya menurun dua kuartal berturut-turut. Lalu, kapan sebuah negara bisa dianggap resesi?

Ketidakseimbangan Produksi dan Konsumsi

Pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Jika produksi jauh melebihi konsumsi, terjadi penumpukan stok barang. 

Sebaliknya, jika konsumsi rendah sementara kebutuhan meningkat, impor akan meningkat. Kondisi ini menurunkan keuntungan perusahaan dan melemahkan pasar modal.

Pertumbuhan Ekonomi Menurun Dua Kuartal Berturut-turut

Pertumbuhan ekonomi adalah indikator utama kondisi ekonomi suatu negara. Jika pertumbuhan positif, ekonomi dinilai sehat, sebaliknya jika pertumbuhan negatif, terutama saat Produk Domestik Bruto (PDB) turun selama dua kuartal berturut-turut, negara tersebut dapat dikatakan sedang mengalami resesi.

Nilai Impor Lebih Besar dari Ekspor

Jika suatu negara tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya, maka akan melakukan impor. Sebaliknya, negara dengan produksi berlebih bisa mengekspor barangnya. 

Namun, ketika nilai impor melebihi ekspor, hal ini dapat menyebabkan defisit anggaran yang merugikan perekonomian nasional.

Inflasi atau Deflasi yang Tinggi

Kenaikan harga barang yang sangat tajam membuat masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, sulit menjangkau kebutuhan pokok. Jika daya beli tidak diimbangi, kondisi ekonomi semakin memburuk. 

Selain itu, deflasi yang menyebabkan penurunan harga secara drastis juga memengaruhi pendapatan dan keuntungan perusahaan, sehingga produksi menurun karena biaya produksi tidak tertutupi.

Tingkat Pengangguran Tinggi

Tenaga kerja memiliki peran vital dalam mendukung perekonomian. Jika pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja yang layak, pengangguran akan meningkat. 

Akibatnya, angka kriminalitas bisa naik karena sebagian orang berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang tidak benar.

Dampak Resesi Ekonomi

Resesi merupakan kondisi yang sangat merugikan bagi perekonomian suatu negara. Ketika resesi terjadi, hampir seluruh jenis usaha, baik skala besar maupun kecil, akan merasakan dampaknya. 

Situasi ini diperburuk oleh kondisi kredit yang semakin ketat, di mana permintaan untuk mengajukan pinjaman menurun atau prosesnya menjadi lebih lambat. 

Hal ini memicu rasa kekhawatiran, ketidakpastian, dan ketakutan secara luas di masyarakat. 

Resesi ekonomi tidak hanya memberikan dampak pada pemerintah, tetapi juga berdampak pada perusahaan dan kehidupan individu secara langsung. Berikut penjelasan lebih rinci:

Dampak Resesi terhadap Pemerintah

Salah satu dampak paling terasa adalah meningkatnya jumlah pengangguran. 

Pemerintah kemudian menghadapi tekanan untuk segera mencari solusi agar resesi berakhir dan lapangan kerja kembali tersedia guna menyerap tenaga kerja yang ada. 

Selain itu, pinjaman pemerintah juga akan meningkat tajam karena pemerintah membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai berbagai kebutuhan pembangunan negara. 

Pendapatan negara yang berasal dari pajak maupun sumber nonpajak menurun drastis, karena selama resesi pendapatan pekerja berkurang, sehingga pajak penghasilan yang masuk ke kas negara ikut menurun.

Harga properti yang jatuh juga menurunkan penerimaan pajak dari transaksi jual beli properti, sementara pengeluaran masyarakat yang melemah berdampak pada berkurangnya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Di sisi lain, pemerintah tetap harus melanjutkan pembangunan di berbagai sektor dan menjamin kesejahteraan rakyatnya, sehingga pengeluaran untuk pembayaran bantuan sosial, subsidi, dan tunjangan meningkat. 

Penurunan pendapatan pajak dan peningkatan pengeluaran ini menyebabkan defisit anggaran yang semakin besar serta mendorong naiknya utang pemerintah.

Dampak Resesi terhadap Perusahaan

Resesi dapat menyebabkan banyak perusahaan mengalami kebangkrutan, akibat sejumlah faktor seperti kondisi ekonomi yang negatif, berkurangnya sumber daya riil, krisis kredit, serta turunnya harga aset yang berbasis utang. 

Saat bisnis mengalami kegagalan, pendapatan perusahaan akan menurun secara drastis. 

Penurunan pendapatan ini menimbulkan efek domino bagi pekerja, di mana sebagian harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga kehilangan seluruh penghasilannya. 

Sementara itu, pekerja yang tetap bertahan seringkali harus menerima pemotongan upah sehingga pendapatannya berkurang. Penurunan pendapatan ini selanjutnya mengakibatkan berkurangnya daya beli masyarakat. 

Bagi mereka yang terkena PHK, kesulitan memenuhi kebutuhan hidup menjadi kenyataan yang harus dihadapi. Penurunan daya beli ini juga membuat perusahaan semakin sulit untuk meningkatkan pendapatan. 

Dalam kondisi resesi, masyarakat cenderung lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, sehingga permintaan terhadap barang dan jasa menurun. Penurunan permintaan ini kemudian membuat laba perusahaan ikut menurun. 

Bahkan, bila permintaan benar-benar hilang, perusahaan berisiko mengalami kerugian besar hingga kebangkrutan. 

Salah satu langkah yang biasanya diambil adalah melakukan perang harga, di mana perusahaan memangkas harga secara besar-besaran untuk menarik minat konsumen. 

Meski demikian, strategi ini akan menurunkan profitabilitas. Akibat berkurangnya keuntungan, perusahaan dipaksa untuk melakukan efisiensi dengan menutup unit bisnis yang kurang menguntungkan dan memotong biaya operasional. 

Dalam proses efisiensi tersebut, perusahaan sering menurunkan upah pekerja atau melakukan PHK.

Dampak Resesi terhadap Pekerja

Resesi secara langsung berdampak pada para pekerja terutama melalui pemutusan hubungan kerja, yang membuat mereka menjadi pengangguran dan kehilangan sumber penghasilan utama. 

Padahal, pengangguran ini tetap harus memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk diri sendiri maupun keluarga. Masalah pengangguran tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga menimbulkan masalah sosial. 

Tingginya angka pengangguran menjadi salah satu pemicu ketidakstabilan sosial, yang dapat berujung pada vandalisme dan kerusuhan di masyarakat. 

Jika pengangguran massal terjadi, hal ini dapat mengancam tatanan sosial dan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan.

Langkah Pencegahan Resesi

Indonesia saat ini tengah berusaha keras agar tidak terjerumus ke dalam resesi ekonomi, terutama karena beberapa negara lain seperti Singapura dan Korea Selatan sudah mulai mengalami gelombang resesi. 

Untuk itu, pemerintah mengambil beberapa langkah strategis guna mencegah terjadinya resesi, antara lain:

Belanja Pemerintah yang Besar

Pemerintah berencana melakukan belanja dalam skala besar sebagai upaya menghadapi ancaman resesi. Dengan meningkatkan permintaan dalam negeri, pemerintah berharap dunia usaha terdorong untuk berinvestasi kembali. 

Cara ini diharapkan mampu meredam kontraksi ekonomi yang disebabkan oleh efek berantai dari pandemi Covid-19. 

Belanja pemerintah menjadi salah satu pengungkit utama untuk memulihkan perekonomian saat krisis yang ditimbulkan oleh pandemi ini. 

Meski kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara hanya sekitar 14,5 persen, pemerintah tetap fokus memaksimalkan perannya dalam pemulihan ekonomi.

Bantuan untuk UMKM

UMKM merupakan sektor yang paling terdampak berat akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pemerintah menyiapkan berbagai program untuk mengangkat kembali sektor ini agar kembali aktif. 

Setelah sebelumnya memberikan kebijakan restrukturisasi dan subsidi bunga kredit bagi para pelaku UMKM, Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi juga menyiapkan dua program tambahan, yaitu bantuan UMKM produktif dan kredit berbunga rendah. 

Bantuan ini diberikan dalam bentuk hibah (grant), bukan pinjaman, dengan tujuan agar dana tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk memulai usaha. Program ini menyasar sekitar 12 juta pelaku UMKM. 

Selain itu, bantuan ini juga akan difasilitasi dengan program kredit berbunga rendah yang menyasar khususnya para pengusaha yang terdampak PHK dan pemilik usaha rumah tangga. 

Program ini dirancang agar terintegrasi dengan bantuan UMKM produktif sehingga lebih efektif.

Penempatan Dana di Perbankan dan Penjaminan Kredit Modal Kerja untuk Korporasi

Pemerintah juga melakukan penempatan dana di perbankan sebagai upaya memutar kembali roda ekonomi. 

Dana tersebut telah disalurkan oleh bank dalam jumlah besar. Selain itu, pemerintah meluncurkan program penjaminan kredit kepada korporasi padat karya sebagai bagian dari pemulihan ekonomi nasional. 

Bank menandatangani perjanjian penjaminan, terutama untuk sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. 

Fasilitas penjaminan kredit modal kerja ini ditujukan bagi korporasi ekspor padat karya dengan jumlah karyawan minimal 300 orang. 

Korporasi yang dijamin bukan termasuk BUMN, UMKM, maupun pihak yang sedang dalam kasus hukum atau proses kepailitan, dan harus memiliki catatan kredit lancar sebelum pandemi. 

Besaran tambahan kredit modal yang dijamin berkisar antara Rp 10 miliar sampai Rp 1 triliun. Skema penjaminan menetapkan porsi jaminan sebesar 60 persen dari kredit, dan untuk sektor prioritas porsi jaminan dapat mencapai 80 persen. 

Pemerintah menanggung 100 persen biaya imbal jasa penjaminan untuk kredit modal kerja hingga Rp 300 miliar dan 50 persen untuk kredit dengan plafon antara Rp 300 miliar sampai Rp 1 triliun. 

Program penjaminan ini direncanakan berlangsung sampai akhir tahun 2021 dengan target menjamin total kredit modal kerja yang disalurkan oleh perbankan mencapai Rp 100 triliun.

Sebagai penutup, pengertian resesi ekonomi adalah kondisi menurunnya aktivitas ekonomi secara signifikan yang berdampak pada berbagai sektor dan kesejahteraan masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index