JAKARTA - Aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat, kembali menjadi sorotan tajam publik dan sejumlah kalangan pemerhati lingkungan. Isu kerusakan kelestarian alam akibat tambang nikel di salah satu kawasan konservasi dan destinasi wisata bahari kelas dunia itu memicu kritik keras dari Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Abdul Rachman Thaha (ART).
Dalam pernyataan resmi yang disampaikan kepada media di Jakarta, Selasa 10 JUNI 2025, senator asal daerah pemilihan Sulawesi Tengah ini menilai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, belum menjalankan tugasnya secara maksimal dalam menangani konflik dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat.
“Presiden Prabowo semestinya tidak mengirim, apalagi mengandalkan, Menteri Bahlil untuk mengatasi masalah Raja Ampat,” tegas Abdul Rachman Thaha.
Kritik Terhadap Pendekatan Menteri Bahlil dalam Menangani Konflik Tambang
ART mengungkapkan bahwa pengalaman Menteri Bahlil dalam menangani masalah serupa di daerah lain seharusnya menjadi pelajaran penting. Ia menyebutkan kasus Pulau Rempang, Batam, beberapa tahun lalu, saat proyek pembangunan ekokota (ecocity) memicu ketegangan sosial dan penolakan dari masyarakat setempat. Pada waktu itu, Presiden Joko Widodo mengutus Bahlil untuk turun langsung ke lapangan.
Setelah kunjungannya ke Pulau Rempang, Bahlil mengklaim bahwa masyarakat akhirnya menerima proyek tersebut. Namun, ART mempertanyakan apakah pendekatan dan metode yang sama bisa diterapkan dengan efektif di Raja Ampat, yang memiliki kondisi sosial, budaya, dan ekologi yang sangat berbeda.
“Saat Pulau Rempang bergejolak akibat proyek ecocity, Presiden Jokowi mengutus Bahlil ke sana. Sepulang dari sana, Bahlil mengklaim masyarakat Rempang pada akhirnya bisa menerima rencana proyek tersebut. Tapi Raja Ampat bukan Rempang,” ujarnya.
Kerusakan Lingkungan dan Dampak Sosial di Raja Ampat
Isu utama yang mencuat dalam kasus penambangan nikel di Raja Ampat adalah potensi kerusakan lingkungan yang dapat mengancam keanekaragaman hayati laut dan darat di wilayah ini. Raja Ampat dikenal sebagai kawasan yang memiliki ekosistem unik dan merupakan rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna, termasuk terumbu karang yang menjadi ikon wisata bawah laut internasional.
Selain dampak ekologis, penambangan juga menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat adat dan nelayan yang hidup bergantung pada sumber daya alam tersebut. Mereka khawatir bahwa aktivitas tambang akan merusak habitat dan mengganggu mata pencaharian tradisional yang telah berlangsung selama berabad-abad.
ART menyatakan bahwa keterlambatan dan kurangnya tindakan efektif dari Menteri ESDM membuat masalah ini semakin rumit dan menimbulkan ketidakpuasan yang meluas.
Pemerintah Diminta Tingkatkan Respons dan Transparansi
Abdul Rachman Thaha menyerukan agar pemerintah pusat, khususnya Kementerian ESDM, lebih responsif dalam menangani masalah tambang nikel di Raja Ampat. Ia juga mendesak agar proses pengawasan dan evaluasi dilakukan dengan transparan, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan organisasi lingkungan.
Menurut ART, solusi yang tepat harus mempertimbangkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan, sehingga tidak mengorbankan keberlanjutan alam dan hak-hak masyarakat lokal.
“Penanganan masalah Raja Ampat harus melibatkan dialog terbuka dan melibatkan semua pihak. Pemerintah jangan hanya mengedepankan target investasi, tapi harus memastikan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat terpenuhi,” tegasnya.
Perbandingan Kasus Rempang dan Raja Ampat
Dalam membandingkan pengalaman di Pulau Rempang dan situasi di Raja Ampat, ART menekankan bahwa masing-masing wilayah memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri. Pulau Rempang, sebagai bagian dari kawasan metropolitan Batam, memiliki struktur sosial dan ekonomi yang berbeda dengan Raja Ampat yang berbasis masyarakat adat dan ekosistem laut yang sangat sensitif.
Oleh karena itu, pendekatan satu ukuran untuk semua (one-size-fits-all) tidak bisa diterapkan. ART menilai Menteri Bahlil perlu menyesuaikan strategi dengan kondisi spesifik di Raja Ampat agar penyelesaian masalah tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga berakar pada pemahaman lokal.
Tekanan Publik dan Harapan Penyelesaian Masalah
Penambangan nikel di Raja Ampat selama ini menjadi perhatian tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga komunitas internasional yang peduli terhadap konservasi lingkungan. Isu ini menimbulkan tekanan publik agar pemerintah mengambil langkah nyata demi mencegah kerusakan lingkungan yang luas dan menjaga citra Raja Ampat sebagai kawasan konservasi dan destinasi wisata dunia.
ART berharap agar Presiden Prabowo Subianto dapat mempertimbangkan evaluasi menyeluruh terkait penanganan isu ini, termasuk menilai efektivitas kinerja Menteri ESDM. Sebab, menurutnya, pengelolaan sumber daya alam harus didasarkan pada prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.
Kasus penambangan nikel di Raja Ampat memunculkan berbagai tantangan besar terkait pelestarian lingkungan, perlindungan hak masyarakat adat, dan pembangunan ekonomi daerah. Kritik yang dilontarkan oleh anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha terhadap kinerja Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjadi cermin dari kompleksitas isu yang harus dihadapi pemerintah.
Penanganan yang terukur, transparan, dan inklusif menjadi kunci utama dalam menyelesaikan masalah ini. Semua pihak diharapkan mampu bersinergi dengan mengedepankan data ilmiah, dialog antar pemangku kepentingan, serta komitmen kuat untuk menjaga kelestarian alam Raja Ampat demi generasi mendatang.