DPR Soroti Nasib Pengemudi Ojol dalam Layanan Transportasi Digital

Selasa, 22 Juli 2025 | 13:05:11 WIB
DPR Soroti Nasib Pengemudi Ojol dalam Layanan Transportasi Digital

JAKARTA - Di tengah perkembangan pesat layanan transportasi digital di Indonesia, keberadaan para pengemudi ojek online (Ojol) seringkali masih berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Meski menjadi elemen krusial dalam roda bisnis aplikasi transportasi daring, perlakuan terhadap mereka belum sepenuhnya mencerminkan penghargaan yang setara atas peran penting tersebut.

Hal ini menjadi perhatian serius bagi anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN, Dr. Ashabul Kahfi. Dalam pernyataannya kepada media, ia menekankan bahwa perusahaan pemilik aplikasi ojek online harus mulai menunjukkan kepedulian nyata terhadap nasib para pengemudi. Menurutnya, tuntutan yang disuarakan oleh para driver bukan hanya soal nominal tarif atau sistem bonus yang tak menentu, melainkan menyangkut esensi dari keadilan dalam hubungan kerja digital.

“Saya memandang bahwa pihak aplikasi perlu segera merespons secara serius dan terbuka terhadap tuntutan para mitra pengemudi. Apa yang disuarakan oleh para driver bukan semata-mata soal tarif atau bonus, tetapi menyangkut keadilan dalam relasi kerja digital,” ujar Kahfi.

Ia menyampaikan pandangan bahwa pengemudi ojol merupakan tulang punggung dari seluruh ekosistem transportasi digital. Tanpa keberadaan mereka, aplikasi secanggih apapun tidak akan mampu berjalan. Sayangnya, peran vital tersebut belum diiringi dengan perlindungan kerja dan posisi tawar yang sepadan.

“Kita tak boleh menutup mata bahwa para pengemudi adalah tulang punggung utama dalam layanan aplikasi transportasi, tetapi sering kali tidak mendapatkan posisi tawar yang adil,” tegasnya.

Lebih lanjut, Kahfi menyoroti bagaimana sistem algoritma yang tidak transparan serta perubahan skema insentif yang kerap terjadi secara sepihak telah memperburuk situasi para pengemudi. Ditambah dengan beban kerja yang makin berat serta minimnya jaminan sosial dan perlindungan kerja, tak heran jika keresahan kian meluas di kalangan pengemudi.

Ia mengatakan bahwa keresahan tersebut harus dilihat sebagai refleksi nyata dari ketimpangan yang sedang terjadi di balik gemerlap ekonomi digital. Di satu sisi, perusahaan-perusahaan aplikasi memperoleh keuntungan besar dari pertumbuhan layanan, namun di sisi lain, para pengemudi yang menyumbang tenaga justru belum mendapatkan kejelasan status ataupun perlindungan hukum yang memadai.

“Ketika algoritma yang tidak transparan, skema insentif yang terus berubah, dan beban kerja meningkat. Sementara perlindungan sosial dan jaminan kerja minim, maka sangat wajar jika terjadi keresahan seperti hari ini,” ujar Kahfi.

Dalam konteks ini, ia mendesak agar perusahaan pemilik aplikasi tidak lagi menghindar dari dialog konstruktif dengan para mitra pengemudi. Menurutnya, solusi tidak bisa hanya berupa pernyataan normatif semata. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret yang dapat mengakomodasi kepentingan para pengemudi.

“Karena itu, saya mendesak pihak aplikator untuk segera duduk bersama perwakilan pengemudi dan menyepakati langkah konkrit, bukan sekadar pernyataan normatif,” papar Kahfi lebih lanjut.

Tak hanya itu, ia juga menyoroti perlunya keterlibatan aktif dari pemerintah dalam menyikapi permasalahan ini. Regulasi yang saat ini berlaku dinilai belum cukup tanggap terhadap dinamika baru yang muncul dari model kerja berbasis platform digital. Menurutnya, sudah saatnya negara hadir untuk menyeimbangkan relasi antara pengusaha platform dengan pekerja informal digital.

“Pemerintah perlu hadir secara aktif dalam proses ini, termasuk dengan meninjau regulasi yang belum cukup adaptif terhadap model kerja baru berbasis platform,” tegasnya.

Kahfi menegaskan bahwa Komisi IX DPR RI siap menjadi mediator dalam proses penyelesaian masalah tersebut. Ia membuka kemungkinan untuk memfasilitasi dialog tripartit yang mempertemukan langsung pihak aplikator, perwakilan pengemudi, dan pemerintah demi merumuskan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Bagi Kahfi, pendekatan ini bukan semata untuk mengoreksi praktik industri digital, tetapi untuk menjamin agar nilai-nilai keadilan tetap terjaga dalam arus transformasi teknologi yang semakin cepat.

“Kami juga mendorong percepatan pengesahan regulasi perlindungan pekerja sektor informal digital, termasuk jaminan sosial, standar minimum kerja, dan transparansi algoritma,” lanjutnya.

Ia menutup pernyataan dengan menegaskan bahwa perjuangan ini bukanlah bentuk penolakan terhadap kemajuan teknologi. Sebaliknya, ini adalah seruan agar inovasi yang hadir tetap menempatkan manusia sebagai pusat dari seluruh proses.

“Ini bukan soal menentang kemajuan teknologi, tapi soal memastikan manusia tetap menjadi pusat dalam inovasi digital,” tutup Kahfi.

Pernyataan Ashabul Kahfi mencerminkan kegelisahan banyak pihak yang melihat perkembangan dunia kerja digital tak selalu diiringi dengan peningkatan kualitas hidup para pekerjanya. Sebagai legislator, komitmen yang ditunjukkan untuk membela kepentingan pengemudi ojol menjadi sinyal penting bahwa transformasi digital tidak boleh mengabaikan hak-hak dasar para pelaku lapangan.

Dengan momentum ini, harapannya adalah terciptanya sistem transportasi digital yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan, di mana para pengemudi benar-benar diperlakukan sebagai mitra sejati, bukan sekadar angka dalam data pengguna aplikasi.

Terkini

10 Wisata Terbaik di Trenggalek untuk Liburan Singkat

Selasa, 22 Juli 2025 | 15:21:18 WIB

Penerbangan Langsung Lombok–Labuan Bajo Diresmikan

Selasa, 22 Juli 2025 | 15:24:20 WIB

Pemutihan Pajak Kendaraan di Jatim

Selasa, 22 Juli 2025 | 15:27:44 WIB

Poirier Pensiun dari UFC, Makhachev Beri Tribut

Selasa, 22 Juli 2025 | 15:30:48 WIB