JAKARTA - Pasar minyak global kembali menunjukkan pergerakan positif meskipun masih dibayangi ketidakpastian ekonomi akibat perang dagang dan lonjakan suplai global. Setelah mengalami tekanan selama tiga hari berturut-turut, harga minyak mentah berhasil membukukan kenaikan meski tergolong tipis, didorong oleh ekspektasi pasar terhadap dinamika stok energi di Amerika Serikat serta risiko geopolitik yang meningkat di Timur Tengah.
Kondisi pasar saat ini mencerminkan kompleksitas berbagai faktor yang saling memengaruhi, mulai dari kebijakan perdagangan Amerika Serikat, keputusan internal OPEC+, hingga peristiwa keamanan yang menyasar infrastruktur energi strategis. Semua hal tersebut turut membentuk sentimen investor dalam menentukan posisi mereka di pasar komoditas energi.
Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) sempat mengalami penurunan sekitar 3% dalam tiga sesi perdagangan terakhir. Namun, kini mulai stabil dan mendekati angka US$67 per barel. Sementara itu, acuan global Brent justru mengalami pelemahan tipis dan ditutup di bawah angka US$69 per barel. Data persediaan dari pemerintah AS menunjukkan hasil yang beragam. Meskipun terjadi peningkatan pada persediaan distilat, cadangan minyak mentah nasional justru mengalami penurunan.
Dalam konteks tersebut, pelaku pasar mencermati lebih dalam data yang dirilis oleh Energy Information Administration (EIA). Mereka mencoba mengukur sejauh mana tren permintaan domestik AS dapat mengimbangi kekhawatiran terhadap surplus pasokan global. Respons pasar terhadap laporan ini masih terbelah, namun banyak analis sepakat bahwa ketidakpastian masih akan menjadi tema dominan dalam beberapa bulan ke depan.
Salah satu faktor penentu lainnya adalah kebijakan tarif yang kembali digulirkan oleh Presiden Amerika Serikat. Donald Trump dikabarkan akan mengirim surat kepada lebih dari 150 negara, yang berisi pemberitahuan tentang rencana pemberlakuan tarif impor baru yang besarnya diperkirakan antara 10% hingga 15%. Langkah ini dipandang sebagai bagian dari upaya lanjutan Washington dalam memperkuat posisi negosiasi dagang global, namun juga menimbulkan kekhawatiran akan pelemahan permintaan energi jika ekonomi global melambat.
Trump juga menjadi sorotan publik dan pasar keuangan terkait sikapnya terhadap Gubernur The Federal Reserve, Jerome Powell. Setelah beredar rumor bahwa Trump mungkin akan mencopot Powell dari jabatannya, sang presiden kemudian membantah kabar tersebut. Namun, isu ini tetap menjadi perhatian pelaku pasar karena berkaitan erat dengan arah kebijakan moneter AS ke depan, yang tentu akan memengaruhi nilai tukar dolar dan harga komoditas global, termasuk minyak.
Dari sisi fundamental, harga minyak sebenarnya telah menunjukkan penguatan sejak Mei. Namun, tren ini masih belum cukup kuat untuk menghilangkan kekhawatiran akan adanya kelebihan pasokan pada akhir tahun. Penurunan permintaan musiman, yang biasanya terjadi pada kuartal keempat, dikhawatirkan tidak dapat ditangani dengan cepat oleh negara-negara penghasil minyak, termasuk anggota dan sekutu OPEC+.
Kekhawatiran semakin diperparah dengan potensi kembalinya pasokan dari beberapa negara produsen utama. Hal ini bisa memicu tekanan baru terhadap harga minyak jika tidak diimbangi dengan kenaikan permintaan global atau pengurangan produksi secara sukarela dari blok OPEC+.
Di kawasan Timur Tengah, situasi keamanan kembali menjadi sorotan. Beberapa ladang minyak di wilayah semi-otonom Kurdistan, Irak utara, dilaporkan diserang oleh drone. Insiden tersebut menjadi tambahan dalam daftar panjang serangan terhadap fasilitas energi yang strategis di kawasan itu. Meski demikian, ladang-ladang minyak tersebut diketahui belum menyalurkan ekspor ke pasar global sejak jalur pipa ekspor utama ditutup lebih dari dua tahun lalu.
Meski dampak langsung dari serangan ini terhadap suplai global tidak terlalu signifikan, peristiwa tersebut cukup untuk meningkatkan ketegangan geopolitik dan menciptakan ketidakpastian yang pada akhirnya mempengaruhi harga komoditas. Dalam iklim pasar yang sensitif seperti saat ini, peristiwa keamanan sekecil apapun bisa menjadi katalis kuat bagi pergerakan harga.
Dalam perdagangan terakhir, harga WTI untuk pengiriman Agustus tercatat naik 0,4% menjadi US$66,65 per barel. Di sisi lain, Brent untuk penyelesaian September justru turun tipis sebesar 0,3% dan ditutup pada angka US$68,52 per barel. Pergerakan ini mencerminkan adanya tarik-ulur sentimen antara sisi fundamental yang condong ke arah surplus dan sisi geopolitik yang cenderung menambah risiko terhadap ketersediaan pasokan.
Dengan kondisi global yang penuh ketidakpastian, para analis memperkirakan bahwa volatilitas harga minyak akan tetap tinggi dalam waktu dekat. Para investor dan pelaku industri energi disarankan untuk terus mencermati data pasokan dan permintaan, serta menyiapkan langkah mitigasi terhadap kemungkinan skenario terburuk, termasuk potensi perang dagang berkepanjangan dan gangguan keamanan yang tak terduga.
Secara keseluruhan, pasar minyak saat ini berada di titik kritis. Di satu sisi, sentimen positif terhadap pemulihan ekonomi masih memberikan harapan akan peningkatan permintaan energi. Namun di sisi lain, dinamika geopolitik, kebijakan dagang, dan fluktuasi data persediaan masih akan menjadi faktor utama yang mempengaruhi arah pergerakan harga ke depan.