JAKARTA - Langkah berani Xiaomi memasuki pasar otomotif listrik dengan meluncurkan model YU7 tidak hanya memicu ketertarikan dari para pecinta teknologi, tetapi juga menuai kontroversi tajam dari kalangan profesional industri otomotif. Bukan desain atau performa keseluruhan yang menjadi sorotan, melainkan pilihan Xiaomi dalam menggunakan cip consumer-grade—yakni Qualcomm Snapdragon 8 Gen 3, prosesor yang selama ini dikenal sebagai otak dari berbagai smartphone kelas atas.
Penggunaan cip ini untuk sistem kokpit digital YU7 memantik perdebatan luas di kalangan pelaku industri dan pengamat otomotif. Sebagian menilai langkah tersebut sebagai inovasi terobosan, sementara lainnya menyebutnya sebagai langkah berisiko tinggi, terutama terkait dengan keamanan dan keandalan jangka panjang.
Cip Konsumen dalam Dunia Mobil: Garis yang Mulai Kabur?
- Baca Juga Manfaat Madu untuk Kecantikan Kulit
Dalam dunia teknologi, perbedaan antara cip kelas industri dan cip kelas konsumen sangat signifikan. Cip industri, yang biasa digunakan di sistem otomotif, dirancang untuk tahan terhadap kondisi ekstrem seperti suhu tinggi, kelembaban, getaran, hingga umur pakai yang lebih panjang. Sedangkan cip konsumen biasanya difokuskan pada performa tinggi dalam jangka pendek dan lingkungan yang lebih stabil, seperti di smartphone atau tablet.
Xiaomi, lewat YU7, memutuskan untuk menanamkan Snapdragon 8 Gen 3 sebagai otak sistem infotainment dan kokpit digital mobilnya. Ini adalah prosesor yang umum ditemukan di perangkat flagship seperti ponsel Android premium, dan tidak dirancang khusus untuk lingkungan keras seperti yang ada di kendaraan.
Meskipun hal ini bisa berarti peningkatan performa visual dan pengalaman pengguna dalam sistem infotainment—yang mirip seperti menggunakan smartphone canggih di dashboard—tetapi kekhawatiran pun bermunculan. Apakah cip tersebut bisa diandalkan selama bertahun-tahun? Apakah ia bisa bertahan di tengah suhu ekstrem dalam kabin mobil yang terkena panas langsung matahari atau suhu rendah saat musim dingin?
Kritik Keras dari Pelaku Industri
Menanggapi keputusan tersebut, salah satu suara paling lantang datang dari Li Fenggang, Wakil Manajer Umum Eksekutif FAW-Audi Sales Co Ltd, yang menyatakan keprihatinannya terkait keputusan Xiaomi.
Dalam laporan yang dilansir Car News China, Senin 14 JULI 2025, Li Fenggang menyatakan secara tegas bahwa penggunaan cip semacam Snapdragon 8 Gen 3 dalam sistem mobil merupakan langkah yang "tidak sesuai standar keselamatan otomotif" dan berpotensi menimbulkan risiko di masa depan. Baginya, mobil bukan sekadar perangkat elektronik biasa—ia harus tahan terhadap tekanan kondisi jalan, lingkungan, serta menjamin keamanan pengemudi dan penumpang setiap waktu.
“Tidak semua teknologi yang cocok untuk ponsel bisa langsung diadopsi ke dalam kendaraan. Ada tanggung jawab besar dalam desain otomotif yang tidak boleh diabaikan demi kepraktisan,” ujar Li Fenggang.
Perspektif Xiaomi: Antara Inovasi dan Efisiensi
Namun dari sudut pandang Xiaomi, pilihan menggunakan cip kelas konsumen bukan tanpa alasan. Dalam era kendaraan listrik dan digitalisasi otomotif, permintaan akan sistem hiburan yang responsif, fleksibel, dan user-friendly semakin meningkat. Cip smartphone modern seperti Snapdragon 8 Gen 3 menghadirkan performa grafis tinggi, kemampuan AI mumpuni, serta efisiensi daya—faktor-faktor yang sangat menarik untuk membangun sistem kokpit canggih.
Selain itu, Xiaomi sebagai perusahaan teknologi yang berasal dari ekosistem gadget, lebih akrab dan percaya diri dalam mengembangkan software berbasis cip mobile. Hal ini memungkinkan integrasi erat antara mobil dan produk ekosistem Xiaomi lain seperti ponsel, smartwatch, hingga smart home.
Beberapa analis menyebut bahwa pendekatan ini bisa jadi strategi cost-saving juga. Cip otomotif kelas industri memiliki harga jauh lebih mahal, dan proses sertifikasinya memakan waktu panjang. Menggunakan cip yang sudah tersedia di pasaran secara massal membuat proses produksi bisa lebih cepat dan murah—faktor penting bagi perusahaan yang baru merintis jalur di industri kendaraan.
Risiko dan Tantangan Jangka Panjang
Meski dapat menghadirkan efisiensi di awal, penggunaan cip konsumen tetap mengundang sejumlah pertanyaan krusial dalam jangka panjang:
Daya tahan: Apakah cip ini bisa bekerja optimal setelah lima atau sepuluh tahun berada dalam kendaraan, terutama jika tidak dilengkapi pendinginan tambahan?
Keamanan data: Cip mobile umumnya dirancang dengan sistem keamanan konsumen, bukan tingkat otomotif yang harus tahan dari berbagai skenario siber kritis.
Pembaruan perangkat lunak: Akankah Xiaomi terus mendukung sistem operasi kokpit mobil sebagaimana mereka mendukung smartphone? Mengingat pengguna mobil tidak mengganti unit mereka sesering pengguna ponsel, tanggung jawab dukungan jangka panjang jadi sangat penting.
Industri Otomotif dalam Persimpangan Teknologi
Polemik ini menggarisbawahi dilema yang kini dihadapi banyak produsen otomotif: antara mengejar efisiensi dan inovasi digital, atau tetap teguh pada standar industri yang konservatif namun terbukti aman.
Langkah Xiaomi boleh jadi menjadi contoh pertama dari tren lebih luas di masa depan, di mana batas antara kendaraan dan perangkat elektronik pribadi akan semakin kabur. Namun, seperti yang diingatkan oleh Li Fenggang dan pelaku industri lain, adopsi teknologi dari dunia gadget ke otomotif tidak bisa dilakukan sembarangan.
Peluncuran Xiaomi YU7 menandai awal perjalanan perusahaan teknologi besar ke ranah mobilitas listrik. Namun keputusan mereka menggunakan cip consumer-grade seperti Snapdragon 8 Gen 3 membawa serta diskursus penting: seberapa jauh batas keamanan dapat dikompromikan demi inovasi dan efisiensi?
Dalam dunia yang semakin digital, perdebatan seperti ini akan terus muncul. Dan mungkin, waktu dan pengalaman pasar yang akan menjadi hakim paling akhir atas keputusan berani seperti yang diambil oleh Xiaomi.