JAKARTA - Dalam dunia properti yang semakin kompetitif dan dipenuhi ekspektasi pembeli global yang beragam, pengembang di Bali kini tidak lagi sekadar menawarkan lokasi strategis atau fasilitas mewah. Mereka mengadopsi pendekatan desain lintas budaya yang lebih mendalam—menggabungkan estetika minimalis Skandinavia dengan sentuhan kehangatan Asia, yang kini dikenal sebagai konsep “SCANDINASIAN.”
Perubahan selera ini bukan tanpa alasan. Pertumbuhan jumlah wisatawan ke Bali yang melonjak signifikan dan tren kenaikan harga properti hingga 50% di wilayah dengan permintaan tinggi menjadi pemicu utama pergeseran paradigma desain hunian. Permintaan properti dari pembeli internasional pun meningkat, didorong oleh pencarian akan nilai lebih dari sekadar tempat tinggal.
Alih-alih hanya menjual bangunan, para pengembang kini menargetkan gaya hidup. SCANDINASIAN pun menjelma sebagai simbol dari pendekatan hidup kontemporer yang seimbang: estetis, fungsional, dan kaya nilai filosofi.
Konsep ini menjadi cerminan dari tren global yang mengedepankan kenyamanan yang bersahaja, kualitas pengerjaan yang presisi, dan hubungan yang kuat dengan alam. Sentuhan khas lagom dari Skandinavia—yang berarti “tidak berlebihan, tidak kekurangan”—dipadukan dengan prinsip detail dari desain Jepang dan kehangatan budaya lokal Bali.
Arsitektur SCANDINASIAN mengutamakan garis tegas dan bersih, pencahayaan alami yang maksimal, serta penggunaan material yang berakar pada alam, seperti kayu, batu alam, dan elemen terbuka. Fokusnya adalah menciptakan ruang hidup yang fungsional namun tetap hangat dan tenang—tanpa kehilangan cita rasa artistik.
Pendekatan ini ternyata mendapat sambutan luas dari pembeli internasional. Hal itu ditegaskan oleh Shanny Poijes, pendiri dan CEO CORE Concept Living. Menurutnya, pembeli properti masa kini telah memiliki eksposur tinggi terhadap berbagai budaya dan gaya hidup di seluruh dunia. Mereka tahu persis apa yang mereka cari—dan itu bukan hanya properti.
“Pembeli tidak lagi membeli hanya untuk tinggal, tetapi sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Mereka ingin merasa nyaman secara visual, emosional, dan fungsional. Pendekatan SCANDINASIAN ini begitu relevan karena mencerminkan pengalaman mereka terhadap prinsip desain terbaik dari berbagai budaya,” ujar Shanny.
Senada dengan itu, Amanda Gunawan, arsitek dan pendiri OWIU Studio yang berbasis di Los Angeles, menyebut fleksibilitas gaya Skandinavia sebagai keunggulan utama. Ia menekankan bahwa desain ini memungkinkan adanya eksperimen yang memperkaya ruang secara estetis maupun fungsional.
“Gaya Skandinavia tidak hanya soal tampilan, tapi juga filosofi desain yang tahan lama dan tidak mudah usang. Ia selalu mengedepankan keseimbangan antara fungsi dan keindahan, serta pengerjaan yang berkualitas,” tuturnya.
Tak hanya berhenti pada SCANDINASIAN, tren ini berkembang lebih jauh melalui gaya JAPANDI—perpaduan Jepang dan Skandinavia—yang kini menyatu dengan unsur lokal Bali. Integrasi ini melahirkan pendekatan desain yang lebih utuh, menggabungkan keberlanjutan, elemen biofilik, serta teknologi pintar dalam menciptakan ruang hidup yang ramah lingkungan dan terhubung erat dengan alam sekitar.
Tren SCANDINASIAN pun bukan hanya narasi pasar, tapi telah diwujudkan dalam proyek nyata. Salah satunya adalah Leviro Residences yang dikembangkan oleh CORE Concept Living di kawasan Munggu, Bali. Proyek ini menjadi hunian pertama di Bali yang secara penuh mengadopsi pendekatan SCANDINAVIAN X JAPANDI X BALINESE SOUL.
Dengan pengalaman dari dua pendirinya—Shanny Poijes dan Victoria Fernandez—yang berasal dari Swedia, CORE Concept Living menyajikan hunian bergaya global yang tetap menghormati akar budaya lokal. Leviro Residences dirancang tidak hanya untuk tampil menawan, tetapi juga untuk mendukung gaya hidup mindful dan efisien, sejalan dengan kebutuhan masyarakat urban modern.
Tren desain lintas budaya ini menunjukkan bahwa properti bukan lagi soal batas geografis. Di Bali, tempat di mana budaya, keindahan alam, dan gaya hidup bertemu, SCANDINASIAN menjelma sebagai simbol dari dunia baru properti—tempat di mana nilai-nilai universal menemukan ekspresi lokalnya.
Lebih dari sekadar tren visual, SCANDINASIAN juga mencerminkan transformasi dalam cara pandang masyarakat terhadap rumah. Hunian kini dilihat sebagai perpanjangan dari identitas pribadi, ruang untuk merefleksikan nilai hidup, dan tempat untuk beristirahat sekaligus berinovasi.
Ketika pasar properti di Bali berkembang dan menyasar kelas global, pendekatan seperti SCANDINASIAN ini menjadi bukan sekadar alternatif, tetapi kebutuhan. Ia merespons hasrat akan rumah yang memberi ketenangan dalam desain, efisiensi dalam fungsi, dan kedekatan dengan alam—tanpa meninggalkan estetika.