JAKARTA - Ketika sebagian besar konten viral di media sosial didominasi oleh tantangan tari modern dan tren kekinian dari luar negeri, muncul sebuah kejutan menyenangkan dari Tanah Melayu. Gerakan tari tradisional yang terinspirasi dari anak-anak peserta Pacu Jalur — sebuah tradisi lomba perahu khas Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau — kini menjadi sorotan netizen.
Video-video yang menampilkan gerakan dinamis dan penuh semangat itu tidak hanya menghibur, tetapi juga menyentuh sisi budaya yang selama ini nyaris tenggelam di arus modernitas. Dalam sejumlah unggahan di TikTok dan Instagram Reels, tampak para remaja, pelajar, bahkan influencer lokal ikut serta menirukan gerak-gerik anak-anak Kuansing yang menari sebagai bagian dari prosesi Pacu Jalur. Alhasil, tarian ini menjelma menjadi tren baru yang mengangkat citra budaya lokal ke tingkat nasional — bahkan potensial mendunia.
Dari Tradisi Sungai ke Layar Digital
Pacu Jalur adalah tradisi lomba perahu panjang yang dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat Kuansing, Riau. Lebih dari sekadar olahraga air, Pacu Jalur merupakan peristiwa budaya yang penuh makna simbolik dan spiritual. Setiap tim yang berlaga dalam lomba perahu ini membawa serta iringan seni seperti tari-tarian dan alat musik tradisional.
Salah satu elemen unik dari perhelatan ini adalah kehadiran anak-anak yang menari dengan gerakan khas di atas perahu atau panggung budaya, untuk menyemangati para pendayung dan menghibur penonton. Gerakan mereka lincah, spontan, namun penuh nilai estetika lokal.
Kini, potongan-potongan gerakan tari tersebut — yang dulu hanya bisa disaksikan langsung saat festival — telah direkam dan dibagikan secara luas di media sosial. Kemunculannya menjadi bentuk baru penyebaran budaya: dari sungai ke layar ponsel.
“Melihat gerakan itu viral adalah sesuatu yang membanggakan. Ini bukti bahwa budaya kita bisa relevan di era digital, asalkan kita tahu bagaimana membawakannya dengan cara yang segar,” ujar Irwan Susanto, seorang budayawan Riau sekaligus pengamat media sosial.
Generasi Muda sebagai Agen Pelestarian Budaya
Yang menarik, tren ini bukan digerakkan oleh pemerintah atau kampanye resmi pariwisata, melainkan murni dari kreativitas anak-anak muda Kuansing yang iseng mendokumentasikan kegiatan adat mereka. Sebuah video yang menampilkan tarian anak-anak Pacu Jalur bahkan telah ditonton jutaan kali dan dikomentari oleh warganet dari berbagai daerah di Indonesia.
Banyak dari mereka mengaku baru tahu soal keberadaan tradisi Pacu Jalur dari video tersebut. Beberapa pengguna bahkan mencoba membuat ulang gerakan itu dengan balutan musik tradisional Kuansing, memadukannya dengan elemen kontemporer, dan mengunggahnya dengan tagar seperti #TariPacuJalur #BudayaRiau #ViralTiktok.
Bagi kalangan pemerhati budaya, tren ini menjadi semacam peringatan positif: bahwa pelestarian budaya tidak harus kaku dan formal. Keterlibatan generasi muda melalui media sosial membuktikan bahwa tradisi bisa hidup dan berkembang melalui medium yang paling relevan bagi mereka.
“Ini momen langka, ketika ekspresi budaya daerah justru lahir kembali lewat kreativitas netizen. Pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan harus cepat merespons ini dengan strategi kolaboratif,” kata Dr. Nurul Hidayati, dosen Antropologi Budaya Universitas Riau.
Potensi Ekonomi dan Promosi Wisata
Popularitas tarian Pacu Jalur di dunia maya juga berimplikasi positif terhadap sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Sejumlah pelaku UMKM di Kuansing mulai menjual merchandise bertema Pacu Jalur, dari kaos dengan ilustrasi tari hingga gantungan kunci dan aksesoris kepala yang menyerupai properti tari anak-anak tersebut.
Bahkan, beberapa travel agent lokal mencatat peningkatan minat dari wisatawan domestik yang ingin menyaksikan langsung perhelatan Pacu Jalur di Kuantan Singingi. Tak sedikit pula konten kreator yang merencanakan kunjungan ke lokasi festival hanya demi bisa membuat konten “asli” dari sumber budayanya.
Dinas Pariwisata Kuantan Singingi pun menyambut baik fenomena ini. Dalam keterangannya, mereka mengaku sedang menggodok strategi untuk mengintegrasikan tren ini dalam kampanye promosi wisata daerah secara berkelanjutan.
“Kami melihat ini sebagai peluang besar. Ke depan, kami akan melibatkan kreator konten lokal dalam pengembangan paket wisata budaya, termasuk pelatihan tari Pacu Jalur untuk pengunjung,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Kuansing, Zulfadli Saputra.
Tantangan Autentisitas dan Pelestarian Nilai
Meski banyak yang memuji tren tari Pacu Jalur sebagai bentuk pelestarian budaya, tak sedikit pula pihak yang mengingatkan akan pentingnya menjaga nilai dan konteks aslinya. Beberapa tokoh adat dan pelatih tari di Kuansing menyatakan kekhawatiran bahwa penyederhanaan gerakan atau penggunaan musik non-tradisional secara berlebihan bisa mengikis makna asli dari tari tersebut.
“Gerakan anak-anak itu bukan sekadar tari. Itu bagian dari ritual budaya yang harus dihargai. Kami berharap generasi muda tetap belajar dari para seniman tradisional, bukan hanya dari video pendek di TikTok,” tutur Bu Yati, pelatih tari tradisional di Kuantan Tengah.
Untuk itu, penting kiranya ada pendekatan edukatif yang menyertai tren viral ini. Workshop, pelatihan tari, dan pembuatan dokumenter pendek bisa menjadi sarana untuk memperkenalkan konteks budaya secara lebih mendalam kepada audiens luas — terutama mereka yang baru mengenal Pacu Jalur lewat dunia maya.
Warisan Budaya yang Diperbarui Lewat Teknologi
Fenomena viralnya tarian anak-anak Pacu Jalur menjadi pelajaran penting bagi semua pihak: bahwa warisan budaya tidak harus terjebak dalam format lama. Dengan kreativitas, media sosial dapat menjadi ruang baru bagi tradisi untuk lahir kembali dalam bentuk yang tak kalah bermakna.
Bagi masyarakat Kuantan Singingi, ini adalah momentum untuk memperkuat identitas lokal melalui partisipasi digital generasi muda. Bagi Indonesia, ini adalah contoh bagaimana budaya daerah bisa menjadi kekuatan nasional — jika diberi ruang tumbuh, bersinar, dan berkembang secara organik.