Sarjana Hukum Minta Hak Beri Bantuan Hukum Keluarga

Kamis, 03 Juli 2025 | 08:22:36 WIB
Sarjana Hukum Minta Hak Beri Bantuan Hukum Keluarga

JAKARTA - Dalam dinamika sistem peradilan di Indonesia, pemberian bantuan hukum selama ini secara ketat diatur agar hanya dapat dilakukan oleh advokat yang telah disumpah. Namun, sebuah permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat kini menyoroti keterbatasan tersebut. Seorang Sarjana Hukum mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar Sarjana Hukum diberikan ruang untuk memberikan bantuan hukum insidentil khususnya kepada keluarga, di luar profesi advokat yang formal.

Permohonan ini muncul dari pengalaman nyata di lapangan yang memperlihatkan hambatan hukum bagi Sarjana Hukum yang ingin membantu keluarga mereka dalam situasi hukum mendesak. Sidang pendahuluan perkara pengujian Undang-Undang Advokat yang digelar oleh MK mempertemukan argumentasi pemohon dan tanggapan majelis hakim yang mengkaji aspek konstitusional dari norma hukum yang dipersoalkan.

Pemohon, Nanang Kosasih, yang merupakan Sarjana Hukum, menggugat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Advokat yang membatasi pemberian jasa hukum hanya kepada advokat yang telah disumpah. Dalam pandangannya, pembatasan ini mengabaikan keberadaan Sarjana Hukum yang sebenarnya memiliki kapabilitas ilmiah dan dapat berperan memberikan pendampingan hukum secara insidentil, terutama dalam konteks kekeluargaan.

Menurut Nanang, norma tersebut menciptakan kekosongan hukum karena menutup ruang konstitusional warga negara yang memiliki pengetahuan hukum untuk membantu keluarga sendiri dalam kondisi darurat hukum. Dalam persidangan, ia menyampaikan, “Ini tidak hanya soal pengakuan formal, tetapi soal akses keadilan yang mendasar, di mana saya tidak bisa mendampingi keluarga menghadapi ancaman serius hanya karena saya belum disumpah sebagai advokat.”

Nanang merujuk pada Putusan MK sebelumnya yang menyatakan bahwa bantuan hukum oleh nonadvokat tidak dapat dianggap sebagai tindakan pidana selama tidak dilakukan secara profesional. Dengan demikian, ia menegaskan perlunya tafsir yang lebih inklusif terhadap frasa “jasa hukum” dalam UU Advokat.

Hambatan yang dialami Sarjana Hukum di lapangan menjadi contoh konkret ketidakjelasan regulasi. Meskipun sudah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan Ujian Profesi Advokat (UPA), mereka yang belum disumpah seringkali tidak diakui sebagai pendamping hukum oleh aparat penegak hukum. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara kebutuhan masyarakat akan pendampingan hukum dan aturan hukum yang ada.

Ketidakmampuan untuk memberikan bantuan hukum insidentil ini, menurut Nanang, juga bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional warga negara, seperti Pasal 28D ayat (1) tentang hak atas perlindungan hukum, serta Pasal 28G, 28H, dan 28C yang mengatur hak asasi dan hak atas pengakuan hukum.

Selain itu, Nanang mengingatkan bahwa dalam hukum perdata, mekanisme kuasa insidentil telah diakui dan diterapkan, seperti pada Pasal 123 HIR dan Pasal 147 RBg. Bahkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2012 mengatur kuasa insidentil untuk perkara hubungan industrial, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 memberikan kewenangan serupa kepada pengurus serikat buruh. Namun, dalam ranah pidana nonlitigasi, pengakuan semacam ini belum ada, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan perlakuan hukum.

Dalam perkara ini, Nanang menegaskan bahwa permohonannya bukan untuk menghapuskan kewenangan advokat, melainkan meminta Mahkamah Konstitusi menafsirkan frasa “jasa hukum” secara konstitusional agar tidak membatasi hak warga negara yang memiliki latar belakang hukum untuk memberikan bantuan hukum insidentil secara terbatas dan dalam lingkup kekeluargaan.

“Permohonan saya bukan menuntut penghapusan ketentuan normatif, tetapi meminta tafsir yang inklusif agar hak substantif warga negara untuk membantu keluarga dalam situasi darurat tetap terlindungi,” jelas Nanang.

Majelis Hakim MK, yang dipimpin oleh Hakim Arief Hidayat bersama Hakim Anwar Usman dan Enny Nurbaningsih, memberikan catatan penting dalam proses sidang. Hakim Enny meminta agar Pemohon menyempurnakan bagian kewenangan MK serta menjelaskan secara rinci hubungan sebab-akibat antara norma yang diuji dengan kerugian konstitusional yang dialami.

“Silakan bagian kewenangannya disempurnakan. UUD dan UU MK versi terakhir juga perlu ditampilkan, lalu dijelaskan bagaimana norma tersebut merugikan secara konstitusional,” ujar Hakim Enny.

Mahkamah memberikan waktu kepada Pemohon untuk melengkapi permohonan tersebut agar bisa diproses lebih lanjut.

Kasus ini membuka ruang diskusi penting tentang siapa yang boleh memberikan bantuan hukum dan bagaimana ketentuan hukum harus menyesuaikan dengan realitas sosial serta kebutuhan konstitusional warga negara. Terutama dalam situasi darurat atau kekeluargaan, di mana bantuan hukum insidentil bisa menjadi penyelamat hak dan keadilan.

Dengan menyoroti ketentuan yang dianggap membatasi hak Sarjana Hukum, perkara ini diharapkan mampu memberikan dorongan bagi pembaruan regulasi agar sistem bantuan hukum di Indonesia menjadi lebih inklusif, responsif, dan adil, tanpa mengabaikan profesionalisme advokat.

Terkini

Tiket Kapal Pelni Surabaya Jakarta Mulai Rp183 Ribu

Rabu, 16 Juli 2025 | 14:16:58 WIB

KAI Pasang PLTS di 10 Fasilitas

Rabu, 16 Juli 2025 | 14:20:10 WIB

Garuda Indonesia Buka Rute Umrah dari Palembang

Rabu, 16 Juli 2025 | 14:23:00 WIB

Strategi Transportasi Rendah Emisi Indonesia

Rabu, 16 Juli 2025 | 14:28:23 WIB

Harga Sembako Stabil di Pacitan

Rabu, 16 Juli 2025 | 14:33:03 WIB