Daya Saing Asuransi Indonesia menurut OJK

Rabu, 02 Juli 2025 | 10:30:19 WIB
Daya Saing Asuransi Indonesia menurut OJK

JAKARTA - Industri asuransi di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar yang mempengaruhi daya saingnya di tingkat regional, terutama di kawasan Asia Tenggara. Meskipun potensi pasar sangat besar dengan jumlah penduduk yang mencapai ratusan juta jiwa, sektor asuransi di tanah air masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain. Kondisi ini menjadi perhatian utama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator, yang terus mencari solusi agar sektor perasuransian nasional dapat tumbuh lebih kuat dan berdaya saing.

Ketua OJK, Mahendra Siregar, menyatakan bahwa aset perusahaan asuransi di Indonesia saat ini hanya mencapai 5,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata kawasan ASEAN yang mencapai 15%, bahkan sangat tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki aset asuransi hampir sebesar 70% dari PDB-nya. "Dibandingkan dengan rata-rata ASEAN 15%, di luar Singapura. Di mana, Singapura mencapai hampir 70%, maka nilai aset perusahaan asuransi Indonesia tadi relatif kecil," ungkap Mahendra dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI.

Data ini menunjukkan bahwa pasar asuransi Indonesia masih sangat berkembang dan belum mencapai penetrasi optimal. Hal tersebut tercermin juga dari rasio premi asuransi terhadap PDB yang hanya di bawah 3%, sedangkan negara-negara tetangga di ASEAN berada pada kisaran 3% hingga 5%. Singapura bahkan membukukan premi sebesar 10% terhadap PDB-nya, yang menunjukkan tingginya kesadaran masyarakat terhadap produk asuransi.

Tingkat penetrasi asuransi yang rendah ini turut dipengaruhi oleh adanya ‘protection gap’ di Asia Pasifik, termasuk Indonesia. ‘Protection gap’ merupakan selisih antara kebutuhan proteksi dan perlindungan aktual yang diberikan oleh asuransi. Gap ini diperkirakan mencapai US$886 miliar, sebuah angka yang sangat besar. Ketimpangan ini menjadi perhatian khusus OJK karena masih banyak masyarakat yang rentan terhadap risiko kesehatan dan risiko lain tanpa perlindungan asuransi yang memadai.

Selain itu, inflasi kesehatan yang diperkirakan akan mencapai 13,6% pada tahun 2025 menambah urgensi bagi masyarakat untuk memiliki proteksi asuransi yang kuat. Kenaikan biaya kesehatan ini bisa menimbulkan beban finansial besar bagi keluarga jika tidak didukung oleh produk asuransi yang tepat dan terjangkau.

Dari sisi operasional, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK, Ogi Prastomiyono, memaparkan kondisi industri asuransi. Aset sektor perasuransian telah mencapai Rp1.163,62 triliun dengan pertumbuhan year-on-year sebesar 3,84%. Selain itu, terdapat 146 perusahaan asuransi yang aktif dengan total premi mencapai Rp2.217,17 triliun, tumbuh 3,19% secara tahunan. Total klaim yang dibayarkan pada periode tersebut mencapai Rp164,44 triliun dengan rasio klaim sebesar 75,72%.

Menariknya, Ogi menyoroti bahwa jumlah polis asuransi di Indonesia sudah melebihi jumlah penduduk, artinya rata-rata satu orang memiliki lebih dari satu polis. Rata-rata nilai polis adalah sebesar Rp481,38 juta. Hal ini menandakan bahwa meskipun penetrasi asuransi masih rendah, terdapat konsumen yang memiliki proteksi lebih dari satu produk, membuka peluang pengembangan produk dan layanan baru.

Salah satu upaya OJK untuk memperkuat industri asuransi adalah melalui kebijakan yang mengatur mekanisme pembayaran co-payment dalam produk asuransi kesehatan. Co-payment ini merupakan sistem di mana pemegang polis harus membayar sebagian biaya pengobatan, di luar yang ditanggung oleh perusahaan asuransi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab tertanggung dalam menggunakan layanan medis.

Namun, kebijakan co-payment yang awalnya direncanakan berlaku pada 1 Januari 2026 ini akhirnya ditunda pelaksanaannya. Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyatakan bahwa penundaan dilakukan agar dapat menyerap aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan terkait pengaturan produk asuransi kesehatan. “Dalam meaningful participation, kami akan mendengarkan,” ujarnya dalam pertemuan di DPR.

Mahendra Siregar menyambut baik keputusan tersebut dan menyatakan kesiapannya untuk menunda pelaksanaan kebijakan agar bisa diimplementasikan secara lebih efektif dan tepat sasaran. “Kami dapat menyepakati dengan pemahaman tadi. Karena memang hal ini perlu kita lakukan seefektif mungkin,” katanya.

Dalam Surat Edaran OJK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan, mekanisme co-payment diatur dengan batas minimal 10% dari biaya pengobatan, dengan plafon maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap per klaim. Perusahaan asuransi juga bisa menetapkan batas co-payment yang lebih tinggi, dengan kesepakatan bersama pemegang polis.

Penundaan pelaksanaan co-payment ini merupakan bagian dari strategi OJK untuk memastikan bahwa kebijakan baru benar-benar bisa diterima oleh masyarakat dan pelaku industri, serta tidak memberatkan pemegang polis yang selama ini mengandalkan asuransi kesehatan sebagai perlindungan finansial.

Dari sisi literasi dan edukasi, OJK menyadari bahwa peningkatan penetrasi asuransi tidak bisa dilepaskan dari kesadaran masyarakat untuk memahami manfaat dan kebutuhan akan proteksi. Oleh karena itu, berbagai program sosialisasi dan edukasi terus digencarkan, baik melalui media digital maupun kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, agar masyarakat semakin memahami pentingnya memiliki perlindungan asuransi.

Sementara itu, tantangan yang dihadapi industri asuransi di Indonesia juga datang dari sisi teknologi dan inovasi produk. Perkembangan teknologi finansial (fintech) menjadi peluang sekaligus tantangan, di mana produk asuransi digital mulai marak dan memberikan kemudahan akses bagi konsumen. OJK terus mendorong pengembangan produk asuransi berbasis teknologi yang lebih inklusif dan ramah pengguna.

Dengan semua kondisi tersebut, OJK menempatkan diri sebagai fasilitator yang menjaga keseimbangan antara kepentingan konsumen dan pelaku usaha agar industri asuransi nasional dapat tumbuh sehat, berkelanjutan, dan memberikan perlindungan yang merata di seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Di masa depan, peningkatan kualitas layanan, pengembangan produk inovatif, serta kebijakan yang responsif akan menjadi kunci agar Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari negara-negara ASEAN lain. Dengan begitu, perlindungan risiko kesehatan dan finansial bagi masyarakat bisa semakin terjamin, sehingga kontribusi industri asuransi terhadap perekonomian nasional dapat meningkat signifikan.

Terkini

Tiket Kapal Pelni Surabaya Jakarta Mulai Rp183 Ribu

Rabu, 16 Juli 2025 | 14:16:58 WIB

KAI Pasang PLTS di 10 Fasilitas

Rabu, 16 Juli 2025 | 14:20:10 WIB

Garuda Indonesia Buka Rute Umrah dari Palembang

Rabu, 16 Juli 2025 | 14:23:00 WIB

Strategi Transportasi Rendah Emisi Indonesia

Rabu, 16 Juli 2025 | 14:28:23 WIB

Harga Sembako Stabil di Pacitan

Rabu, 16 Juli 2025 | 14:33:03 WIB