Rumus, Cara Menghitung Pajak PPh dan PBB, serta Contohnya

Kamis, 26 Juni 2025 | 14:13:43 WIB
cara menghitung pajak PPh dan PBB

JAKARTA - Cara menghitung pajak PPh dan PBB penting untuk diketahui. Seperti apa panduan dan contohnya yang penting diketahui?

Setiap warga negara Indonesia wajib membayar berbagai jenis pajak, seperti pajak kendaraan, pajak tempat tinggal, pajak penghasilan, dan lain-lain.

Namun, sudahkah kamu memahami apa sebenarnya pengertian pajak itu sendiri? Memahami konsep ini sangat membantu dalam mengelola kewajiban perpajakan dengan baik. 

Oleh karena itu, memahami cara menghitung pajak PPh dan PBB sangatlah penting bagi setiap individu.

Pengertian Pajak

Pajak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai pungutan wajib, umumnya berupa uang, yang harus dibayarkan oleh masyarakat sebagai kontribusi kepada negara atau pemerintah terkait pendapatan, kepemilikan, harga pembelian barang, dan hal lainnya. 

Secara sederhana, membayar pajak berarti memenuhi kewajiban sebagai warga negara untuk mendukung pembiayaan negara serta pembangunan nasional. 

Seluruh proses pembayaran pajak harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jenis pajak yang paling dikenal masyarakat biasanya adalah pajak kendaraan bermotor. Namun, apakah kamu sudah familiar dengan pajak penghasilan dan pajak bumi dan bangunan? 

Kedua jenis pajak ini penting untuk dipahami, baik dari segi definisi maupun cara perhitungannya. Dengan memahami kedua pajak tersebut, kita bisa berusaha memenuhi kewajiban membayar pajak secara tepat waktu.

Jika ingin lebih mengenal pajak penghasilan dan pajak bumi dan bangunan, mari kita pelajari bersama mulai dari definisi hingga rumus dan metode penghitungan yang berlaku.

Pengertian PPh dan PBB

Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada individu atau badan atas penghasilan yang diperoleh dalam satu tahun pajak. 

Penghasilan ini merupakan kemampuan ekonomi yang dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau menambah kekayaan, baik dari sumber dalam negeri maupun luar negeri. 

Secara sederhana, penghasilan dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan sejenisnya.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Apabila seseorang memiliki sebidang tanah atau tempat tinggal, maka kepemilikan tersebut akan dikenakan pajak yang disebut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 

Awalnya, pajak ini termasuk pajak pusat, namun sejak diberlakukannya Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), PBB untuk wilayah perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. 

Sementara itu, PBB yang terkait dengan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan masih tetap menjadi bagian dari pajak pusat.

Subjek Pajak Penghasilan dan Pajak Bumi dan Bangunan

“Subjek Pajak” adalah istilah dalam undang-undang perpajakan yang merujuk pada individu (perorangan) atau entitas (organisasi) sesuai aturan yang berlaku. 

Penting untuk dipahami bahwa meskipun seseorang atau badan termasuk “subjek pajak,” tidak berarti semuanya wajib membayar pajak.

Artinya, hanya individu yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak yang akan dikenakan pajak. 

Untuk badan atau entitas, yang termasuk wajib pajak adalah Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer, Badan Usaha Milik Negara atau daerah dalam berbagai bentuk, persekutuan, firma, koperasi, dan bentuk usaha tetap lainnya.

Pada dasarnya, kewajiban membayar pajak muncul jika ada penghasilan yang diperoleh di wilayah Indonesia.

Jadi, jika seseorang atau badan tidak lagi menerima penghasilan di Indonesia, mereka tidak wajib membayar pajak. Ada beberapa kondisi yang membebaskan dari kewajiban pajak, seperti:

  • Meninggal dunia;
  • Memutuskan meninggalkan Indonesia secara permanen;
  • Badan hukum yang telah dilikuidasi.

Subjek Pajak Penghasilan (PPh)

Meskipun Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak secara spesifik mendefinisikan subjek pajak penghasilan, secara umum dibagi menjadi tiga kategori:

  • Individu beserta warisan yang belum terbagi dan mewakili penerima hak;
  • Badan usaha seperti PT, Perseroan Komanditer, Badan Usaha Milik Negara/Daerah, berbagai jenis persekutuan, firma, koperasi, dan badan usaha lain;
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT), yaitu usaha yang dijalankan oleh seseorang yang tidak berdomisili di Indonesia atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam 12 bulan, serta badan yang tidak didirikan atau berkedudukan di Indonesia, misalnya kantor cabang, kantor perwakilan, bengkel, dan lain-lain.

Subjek pajak yang berdomisili di Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia. Sebaliknya, subjek pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari Indonesia.

Untuk subjek pajak dalam negeri, pajak dikenakan berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sementara subjek pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif yang sebanding.

Subjek pajak dalam negeri wajib melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) sebagai sarana perhitungan pajak yang harus dibayar. 

Sedangkan subjek pajak luar negeri tidak wajib melaporkan SPT Tahunan karena pajaknya sudah dipotong secara final. 

Untuk membantu penghitungan pajak, badan usaha sering menggunakan jasa konsultan pajak atau aplikasi perangkat lunak khusus perpajakan.

Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Individu atau badan yang wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PBB disebut sebagai subjek PBB. 

Pajak ini dikenakan pada pihak yang memiliki bangunan atau memperoleh manfaat dari tanah. 

Menurut Undang-Undang Agraria, hak atas tanah dan bangunan yang termasuk dalam PBB meliputi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan hak pengelolaan.

Namun, ada situasi di mana kepemilikan bangunan atau tanah belum jelas dan PBB belum dibayar. 

Dalam kasus seperti ini, Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan dan menetapkan siapa yang menjadi subjek pajak agar kewajiban pajak dapat terpenuhi.

Proses penetapan subjek pajak oleh Direktur Jenderal Pajak biasanya dimulai dengan pemeriksaan langsung di lapangan, kemudian menetapkan subjek pajak untuk bangunan atau tanah yang belum diketahui pemiliknya.

Penunjukan subjek PBB yang bertanggung jawab membayar pajak atau melunasi tunggakan, meskipun tidak memiliki hak atas tanah atau bangunan tersebut, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.

Apabila subjek yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak merasa keberatan, mereka dapat mengajukan keberatan secara tertulis dengan menyatakan bahwa mereka bukan pihak yang wajib membayar PBB tersebut.

Penting untuk dipahami bahwa dalam pembayaran PBB, status kepemilikan atas tanah dan bangunan tidak mempengaruhi proses pembayaran. 

Penetapan subjek pajak oleh Direktur Jenderal Pajak bukanlah bukti kepemilikan hak atas tanah atau bangunan tersebut.

Objek Pajak Penghasilan dan Pajak Bumi dan Bangunan

Objek Pajak Penghasilan (PPh)

Penghasilan atau pendapatan yang diperoleh dari aktivitas kerja termasuk dalam objek pajak. Karena pengertian penghasilan sangat luas, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 mengatur objek pajak penghasilan dalam pasal 21, 22, 23, dan 26. 

Namun, tidak semua jenis penghasilan dikenai pajak. Beberapa jenis penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak antara lain:

  • Warisan
  • Penghasilan tertentu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan
  • Bantuan atau sumbangan seperti zakat dan sumbangan keagamaan
  • Dana hibah yang tidak terkait dengan kepemilikan, usaha, pekerjaan, atau hubungan antar pihak terkait
  • Penggantian atau imbalan yang berkaitan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk kenikmatan, yang jika diberikan oleh bukan wajib pajak atau wajib pajak tertentu akan menjadi penghasilan.

Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Objek dari Pajak Bumi dan Bangunan meliputi benda-benda tidak bergerak, yaitu permukaan bumi seperti tanah, perairan darat, dan laut. 

Bangunan sendiri didefinisikan sebagai konstruksi yang didirikan di atas tanah atau perairan menggunakan teknik tertentu yang ditanam atau dipatenkan. Contoh bangunan yang termasuk objek PBB meliputi:

  • Jalan tol
  • Kolam renang
  • Jalan lingkungan yang merupakan bagian dari kompleks bangunan
  • Pagar mewah
  • Tempat olahraga
  • Dermaga
  • Taman mewah
  • Kilang minyak, air, dan gas
  • Fasilitas lain yang memberikan manfaat

Sementara itu, ada beberapa hal yang tidak termasuk dalam objek PBB, seperti:

  • Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kepentingan umum seperti tempat ibadah, fasilitas kesehatan, pendidikan, kebudayaan, dan sosial
  • Tanah atau bangunan yang dipakai untuk pemakaman umum, situs purbakala, atau museum
  • Tanah atau bangunan milik perwakilan diplomatik atau konsulat, agar gedung perwakilan RI di luar negeri juga terbebas dari PBB
  • Tanah yang termasuk hutan lindung, suaka alam, taman nasional, dan kawasan serupa
  • Tanah dan bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional sesuai penetapan Menteri Keuangan.

Rumus serta Cara Menghitung Pajak PPh dan PBB

Berikut ini adalah rumus serta cara menghitung pajak PPh dan PBB secara lengkap dan mudah dipahami.

A. Rumus dan Cara Menghitung PPh

Perhitungan pajak penghasilan dilakukan melalui beberapa langkah yang harus dijalani secara berurutan.

Menghitung Penghasilan Bersih

Seluruh penghasilan yang diterima selama satu tahun kerja disebut penghasilan bruto (kotor). Namun, untuk menghitung pajak, yang diperlukan adalah penghasilan bersih. 

Penghasilan bersih diperoleh dengan mengurangi penghasilan kotor dengan beban tanggungan, seperti cicilan kredit, asuransi, hutang, dan lain-lain. 

Misalnya, jika penghasilan kotor sebesar 80.000.000 dan beban tanggungan 5.000.000, maka penghasilan bersih yang didapat adalah 75.000.000.

Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Setelah memperoleh penghasilan bersih, tahap selanjutnya adalah menentukan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 

Tujuan menghitung PTKP adalah untuk mengetahui berapa penghasilan yang benar-benar dikenakan pajak, yaitu Penghasilan Kena Pajak (PKP). Besaran PTKP telah diatur oleh otoritas pajak dengan tarif tertentu, yaitu:

  • Rp54.000.000 untuk wajib pajak perorangan;
  • Tambahan Rp4.500.000 untuk wajib pajak yang sudah menikah;
  • Rp54.000.000 untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami;
  • Tambahan Rp4.500.000 untuk setiap anggota keluarga sedarah dalam garis keturunan langsung dan anak angkat yang menjadi tanggungan, maksimal tiga orang per keluarga.

Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Setelah PTKP diketahui, maka PKP dihitung dengan mengurangi penghasilan bersih dengan PTKP. 

Sebagai contoh, jika penghasilan bersih adalah 75.000.000 dan PTKP untuk wajib pajak belum berkeluarga adalah 54.000.000, maka PKP yang didapat adalah 19.000.000.

Menghitung Pajak Penghasilan (PPh)

Setelah memperoleh PKP, langkah berikutnya adalah menghitung pajak yang harus dibayar berdasarkan tarif pajak yang telah ditetapkan:

  • PKP sampai dengan Rp50.000.000 dikenakan tarif 5%;
  • PKP lebih dari Rp50.000.000 sampai Rp250.000.000 dikenakan tarif 15%;
  • PKP lebih dari Rp250.000.000 sampai Rp500.000.000 dikenakan tarif 25%;
  • PKP di atas Rp500.000.000 dikenakan tarif 30%.

Sebagai contoh, jika PKP sebesar 19.000.000 (di bawah Rp50.000.000), maka pajak yang harus dibayar adalah 19.000.000 × 5% = 950.000.

Contoh Kasus Menghitung Pajak Penghasilan

Misalkan Bagus adalah seorang ayah dengan satu istri dan satu anak. Ia menerima penghasilan sebesar 96.000.000 per bulan dan memiliki beban tanggungan bulanan sebesar 4.000.000. Berikut langkah perhitungannya:

a) Penghasilan bersih = Penghasilan kotor – Beban tanggungan

= 96.000.000 – 4.000.000

= 92.000.000

b) PTKP (untuk istri dan satu anak)

= 54.000.000 + 4.500.000 + 4.500.000

= 63.000.000

c) PKP = Penghasilan bersih – PTKP

= 92.000.000 – 63.000.000

= 29.000.000

d) Pajak Penghasilan (PPh) = PKP × Tarif PPh

= 29.000.000 × 5%

= 1.450.000

Jadi, pajak penghasilan yang harus dibayarkan Bagus selama satu tahun adalah sebesar 1.450.000.

B. Rumus dan Cara Menghitung PBB

Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan memang terkadang terasa sederhana namun juga cukup kompleks. Salah satu komponen utama dalam perhitungannya adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). 

NJOP berfungsi sebagai patokan atau acuan untuk mengetahui nilai pasar rata-rata dari tanah atau bangunan yang akan dijual atau dibeli.

Banyak faktor yang memengaruhi besaran NJOP tanah, antara lain lokasi geografis, kondisi lingkungan sekitar, manfaat tanah tersebut, dan faktor lainnya. 

Sedangkan untuk NJOP bangunan, penilaiannya dipengaruhi oleh bahan bangunan yang digunakan, posisi bangunan, lingkungan sekitar, dan aspek lain yang relevan.

Dalam menghitung besaran Pajak Bumi dan Bangunan yang harus dibayarkan, ada beberapa nilai yang harus diperhatikan, yaitu Nilai Objek Pajak (NJOP), Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOTKP), dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).

Untuk mendapatkan NJKP, biasanya dihitung sebagai 20% dari NJOP. Setelah NJKP diperoleh, besaran PBB dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: NJKP dikalikan dengan tarif 0,5%. Dengan demikian, pajak yang harus dibayar adalah 0,5% dari nilai jual kena pajak tersebut.

Contoh Kasus Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan

Berikut adalah cara menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dibayar oleh Pak Bagyo berdasarkan luas tanah dan bangunan yang dimilikinya.

Pak Bagyo memiliki tanah seluas 150 meter persegi dengan harga per meter sebesar 4.000.000, dan bangunan seluas 100 meter persegi dengan harga per meter sebesar 5.000.000. Berikut langkah perhitungannya:

a) Nilai tanah

150 m² × 4.000.000 = 600.000.000

b) Nilai bangunan

100 m² × 5.000.000 = 500.000.000

c) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

600.000.000 + 500.000.000 = 1.100.000.000

d) Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)

20% × 1.100.000.000 = 220.000.000

e) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

0,5% × 220.000.000 = 1.100.000

Dengan demikian, jumlah PBB yang harus dibayarkan oleh Pak Bagyo adalah sebesar 1.100.000.

Sebagai penutup, memahami cara menghitung pajak PPh dan PBB penting agar kewajiban perpajakan terpenuhi dengan benar dan sesuai aturan yang berlaku.

Terkini