Pemerintah Beri Insentif untuk Pengembangan Energi Panas Bumi

Kamis, 26 Juni 2025 | 08:17:27 WIB
Pemerintah Beri Insentif untuk Pengembangan Energi Panas Bumi

JAKARTA — Pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya dalam mendukung transisi energi bersih dengan memberikan sejumlah insentif fiskal kepada perusahaan pengelola listrik berbasis energi panas bumi (geothermal). Kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat pengembangan sumber energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Salah satu bentuk insentif yang diberikan adalah pembebasan bea masuk dan penanggungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang dan peralatan yang digunakan dalam proses pengembangan proyek geothermal. Namun demikian, pemerintah tetap menekankan pentingnya kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban pajak lainnya.

“Pajak-pajak yang harus ditanggung perusahaan ya harus tetap dibayar,” kata Singgih Riphat, Staf Ahli Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, dalam acara Green Investment Summit 2010 yang digelar di Hotel Hyatt, Jakarta.

Respon atas Keluhan Dunia Usaha

Kebijakan ini merupakan respon langsung atas keluhan dari sejumlah pelaku usaha yang menyatakan bahwa biaya perpajakan untuk pengadaan alat dan barang investasi masih memberatkan. Singgih mengakui bahwa banyak perusahaan yang mengeluhkan adanya beban PPN pada barang-barang dan peralatan yang mereka impor untuk kebutuhan proyek geothermal.

Sejak 2007 hingga 2008, pemerintah telah menanggung PPN dan membebaskan bea masuk untuk barang-barang impor yang digunakan dalam proyek panas bumi. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah awal yang positif untuk menciptakan iklim investasi yang lebih kompetitif di sektor energi bersih.

Namun untuk barang dan peralatan yang diproduksi di dalam negeri, pemerintah hingga kini masih menunggu daftar resmi dari kalangan pengusaha yang mengajukan penanggungan pajak.

“Kami sudah minta daftar barangnya, tapi belum diberikan oleh pengusaha,” ujar Singgih.

Pemerintah Butuh Kepastian Barang

Singgih menjelaskan bahwa untuk dapat merealisasikan penanggungan PPN atas barang dan peralatan dari dalam negeri, pemerintah memerlukan daftar rinci dan jelas dari pihak pengusaha. Menurutnya, identifikasi positif terhadap barang-barang tersebut sangat penting agar tidak terjadi penyalahgunaan fasilitas insentif.

“Itu harus positif barang-barangnya. Terus terang saja, pengusaha kan suka nakal. Barang yang tidak ada di daftar mereka minta pembebasannya, padahal dipakai untuk yang lain. Kita tidak mau dikadalin,” tegasnya.

Kekhawatiran pemerintah bukan tanpa dasar. Dikhawatirkan jika tidak ada kejelasan mengenai jenis barang yang ditanggung pajaknya, maka akan terjadi penyimpangan dalam implementasi kebijakan, yang berujung pada kerugian negara.

Pengusaha Diminta Transparan

Dalam kesempatan yang sama, Singgih juga menyoroti ketidakseimbangan antara permintaan pelaku usaha dengan transparansi yang mereka berikan. Menurutnya, para pengusaha cukup banyak menuntut insentif dan jaminan dari pemerintah, namun di sisi lain kurang terbuka dalam menyampaikan informasi tentang biaya dan struktur keuangan proyek.

“Pengusaha juga meminta pemerintah transparan dan memberikan fasilitas. Tapi mereka sendiri tidak transparan. Kita juga ingin cost mereka transparan,” ucap Singgih.

Ia menambahkan bahwa pemerintah bukan pembeli langsung dari listrik geothermal, melainkan hanya mendukung pengembangan infrastruktur dan kebijakan sektor energi. Oleh karena itu, permintaan pengusaha agar pemerintah memberi jaminan pembelian listrik dinilai kurang tepat sasaran.

“Jadi yang mereka minta itu pemerintah memberi jaminan pembelian listrik. Padahal pemerintah bukan pembelinya,” ujarnya.

Dorong Energi Bersih dan Investasi Hijau

Insentif fiskal untuk proyek geothermal ini merupakan bagian dari strategi pemerintah dalam mendorong pengembangan energi bersih dan investasi hijau di Indonesia. Sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia, Indonesia dinilai memiliki peluang besar untuk mengembangkan sektor ini.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa potensi panas bumi Indonesia mencapai 23,7 gigawatt (GW), namun baru sekitar 2,3 GW atau kurang dari 10 persen yang dimanfaatkan. Rendahnya realisasi ini salah satunya disebabkan oleh tingginya biaya investasi awal, serta persoalan birokrasi dan regulasi yang kerap menghambat.

Melalui insentif seperti pembebasan bea masuk dan penanggungan PPN, diharapkan lebih banyak investor yang tertarik menggarap potensi ini. Pemerintah juga telah menyusun peta jalan (roadmap) pengembangan energi panas bumi, yang menjadi bagian dari target emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060.

Perlu Kolaborasi Pemerintah dan Swasta

Keberhasilan program ini tentu memerlukan sinergi kuat antara pemerintah dan sektor swasta. Di satu sisi, pemerintah perlu memberikan kepastian regulasi dan kemudahan berusaha. Di sisi lain, pelaku usaha juga dituntut untuk lebih bertanggung jawab dan transparan dalam menjalankan proyek.

Praktik bisnis yang jujur dan akuntabel akan memperkuat kepercayaan publik terhadap proyek-proyek energi terbarukan, sekaligus menciptakan ekosistem investasi yang berkelanjutan.

Langkah ini juga sejalan dengan komitmen global Indonesia dalam menghadapi krisis iklim dan menjaga ketahanan energi nasional. Pengembangan panas bumi merupakan bagian dari diversifikasi energi nasional, sekaligus pengurangan emisi karbon dari sektor ketenagalistrikan.

Terkini