JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen menjalankan agenda transisi energi ke arah yang lebih bersih dan berkelanjutan. Namun, transisi tersebut tidak dilakukan secara membabi buta, melainkan tetap mengedepankan pendekatan realistis yang mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan energi nasional.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan ESDM, Wanhar, dalam acara Coffee Morning Diseminasi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, yang digelar di Jakarta.
“Pemerintah tetap menunjukkan komitmennya terhadap transisi energi dengan terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025. Permen ini mengatur Peta Jalan Transisi Energi di sektor ketenagalistrikan dan bersifat mengikat bagi semua pihak,” kata Wanhar.
Menurut Wanhar, dalam peta jalan tersebut, pemerintah Indonesia tetap berupaya mendorong pensiun dini bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara jika memungkinkan. Namun, dalam pelaksanaannya, pendekatan transisi dilakukan secara bertahap dan realistis, dengan memperhatikan potensi sumber daya energi yang tersedia di dalam negeri.
Transisi Energi: Komitmen dan Kenyataan
Meskipun agenda transisi energi menjadi prioritas, realitas di lapangan menunjukkan bahwa Indonesia masih harus mengandalkan sumber energi fosil dalam beberapa tahun ke depan. Berdasarkan RUPTL 2025–2034, pemerintah masih mencatatkan rencana pembangunan pembangkit berbasis energi fosil sebesar 16,6 gigawatt (GW), atau sekitar 24 persen dari total kapasitas pembangkit yang direncanakan.
“Di satu sisi kita ingin mempensiunkan PLTU, tapi di sisi lain batu bara tidak diharamkan. Artinya, batu bara masih memiliki peran dalam peta energi nasional kita, terutama karena ketersediaannya yang tinggi dan biaya yang kompetitif,” ujar Wanhar.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa pemerintah tetap menempatkan energi baru terbarukan (EBT) sebagai prioritas utama dalam pembangunan sektor ketenagalistrikan ke depan. Namun, menurutnya, transisi harus mempertimbangkan aspek kemandirian dan ketahanan energi nasional, terutama dalam konteks swasembada energi.
“Kalau kita ingin swasembada energi, maka logikanya kita harus mengoptimalkan sumber daya yang ada di dalam negeri. Ini penting agar rencana transisi lebih realistis dan sesuai dengan kemampuan nasional,” ucapnya.
Porsi Energi Terbarukan Dominan dalam RUPTL 2025–2034
Dalam RUPTL terbaru yang disusun oleh PLN dan pemerintah, Indonesia menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW hingga tahun 2034. Dari angka tersebut, energi terbarukan mendapat porsi terbesar yaitu 42,6 GW atau sekitar 61 persen dari total.
Pembangunan pembangkit EBT ini mencakup berbagai sumber, termasuk tenaga surya, tenaga air, bioenergi, panas bumi, hingga tenaga angin. Pemerintah juga menargetkan kapasitas penyimpanan energi atau energy storage sebesar 10,3 GW guna mendukung integrasi pembangkit EBT ke dalam sistem kelistrikan nasional.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan ESDM, Jisman P Hutajulu, menyebut bahwa sebagian besar pembangkit listrik berbasis fosil yang masih masuk dalam rencana sudah berada pada tahap konstruksi, dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
“Dari total 16,6 GW pembangkit berbasis energi fosil, sebagian besar sudah dalam tahap konstruksi. Bahkan sekitar 3,2 GW sudah akan memasuki tahap Commercial Operation Date (COD) pada tahun 2025 ini,” jelas Jisman.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah tidak bisa serta-merta menghentikan proyek-proyek tersebut karena terkait dengan komitmen kontraktual dan kebutuhan pasokan listrik jangka pendek.
Penyeimbangan Antara EBT dan Energi Fosil
Sementara porsi EBT terus ditingkatkan, pemerintah tetap menjaga keseimbangan antara keberlanjutan dan keandalan sistem kelistrikan. Hal ini bertujuan agar transformasi energi tidak mengorbankan kepentingan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
“Strategi kami adalah melakukan transisi yang bertahap namun pasti. Kami ingin Indonesia tetap berada di jalur pengurangan emisi gas rumah kaca, namun pada saat yang sama memastikan pasokan listrik tetap andal dan terjangkau,” tutur Jisman.
Kementerian ESDM juga akan terus memperbarui kebijakan dan regulasi untuk mendukung percepatan transisi energi, termasuk dengan skema insentif dan dukungan fiskal bagi pengembang energi terbarukan, serta upaya mendorong pemanfaatan teknologi rendah karbon.
Arahan Presiden dan Target Emisi
Sejalan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto, transisi energi juga diarahkan untuk memperkuat ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor energi. Pemerintah menargetkan Indonesia dapat mencapai emisi nol bersih (net zero emissions) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Untuk mewujudkan target tersebut, ESDM menyiapkan berbagai langkah strategis, antara lain:
Peningkatan porsi EBT dalam bauran energi nasional,
Penghentian pembangunan PLTU baru (kecuali yang telah financial close),
Mendorong program co-firing batu bara dengan biomassa,
Pengembangan jaringan transmisi hijau (green transmission),
Peningkatan kapasitas penyimpanan energi dan interkoneksi antarwilayah.
Kolaborasi Multisektor untuk Akselerasi Transisi
Pemerintah juga menyadari bahwa keberhasilan transisi energi tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Oleh karena itu, sinergi antara sektor publik, swasta, lembaga keuangan, serta masyarakat sangat dibutuhkan.
“Kolaborasi adalah kunci. Transisi energi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi seluruh pemangku kepentingan. Untuk itu, kami mengajak semua pihak untuk turut serta dalam agenda besar ini,” ucap Wanhar mengakhiri keterangannya.
Dengan penekanan pada pendekatan realistis, komitmen jangka panjang, dan sinergi lintas sektor, pemerintah berharap transformasi menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan dapat dicapai secara bertahap, tanpa mengganggu stabilitas ekonomi nasional dan keandalan pasokan listrik.